SEORANG perempuan di Singapura, diajukan ke pengadilan atas tuduhan berulang kali melakukan hubungan seksual dengan penyandang disabilitas intelektual (OKU) tanpa persetujuan pihak laki-laki pada 2022 lalu.
Tak hanya itu, ia juga diduga melakukan "video call" kepada teman prianya saat melakukan dugaan pelanggaran tersebut.
Wanita tersebut menghadapi tiga dakwaan melakukan hubungan seksual dengan seorang pria penyandang disabilitas dan dua dakwaan 'voyeurisme'.
Voyeurisme merupakan tindakan menyaksikan orang lain melakukan aktivitas seksual demi kesenangan atau kepuasannya sendiri.
Voyeur adalah seseorang yang biasa mencari rangsangan seksual dengan cara visual. Voyeur dapat dikatakan "seseorang yang memperoleh kepuasan seksual dari pengamatan terselubung terhadap orang lain saat mereka membuka pakaian atau melakukan aktivitas seksual."
Dalam Wikpedia disebutkan: Voyeurisme adalah penyimpangan seksual, di dunia kedokteran dikenal sebagai istilah skopofilia. Ciri utama voyeurisme adalah adanya dorongan yang tidak terkendali untuk secara diam-diam mengintip atau melihat seseorang yang berlainan jenis atau sejenis tergantung orientasi seksual berbeda yang sedang telanjang, menanggalkan pakaian atau melakukan kegiatan seksual. Dari ini, penderita biasanya memperoleh kepuasan seksual.
Kriteria diagnostik untuk voyeurisme adalah: (a), fantasi, dorongan atau perilaku seksual yang berulang dan intens yang melibatkan aktivitas voyeuristik, dan (b), fantasi, dorongan seksual, atau perilaku yang menyebabkan tekanan atau gangguan yang signifikan secara klinis dalam bidang sosial, pekerjaan, atau area fungsi penting lainnya.
Banyak orang memasukkan fantasi atau perilaku voyeuristik ke dalam daftar fantasi seksual. Hanya ketika fantasi-fantasi ini menjadi fokus untuk jangka waktu lama (enam bulan atau lebih) dan menyebabkan kesusahan atau gangguan dalam hidup seseorang, maka hal ini dapat didiagnosis sebagai paraphilia.
S.R. Sianturi memberikan penjelasan bahwa perbuatan yang melanggar kesopanan merupakan pelanggaran kesusilaan.
Perbuatan tersebut harus berhubungan dengan kelamin dan/atau bagian badan tertentu lainnya yang pada umumnya dapat menimbulkan rasa malu, rasa jijik, atau menimbulkan rangsangan nafsu birahi orang lain.
Terkait perbuatan melanggar kesusilaan atau schending dereerbaarheid atau schennis der eerbaarheid, undang-undang tidak memberikan penjelasan terkait rumusan tersebut.
Merujuk pendapat Prof. Simon, yang dimaksud dengan perbuatan melanggar kesusilaan itu merupakan perbuatan berkenaan dengan hubungan seksual antara wanita dan pria yang dilakukannya perbuatan itu karena untuk meningkatkan serta memuaskan nafsu atau gairah yang dilakukan di depan umum dan dipandang sebagai perbuatan keterlaluan dan apabila orang lain melihat dapat menimbulkan perasaan tidak senang dan malu.
Kejahatan kesusilaan telah diatur dalam Buku II Bab XIV, yaitu Pasal 281-299 KUHP. Pelanggaran terhadap kesusilaan diatur Pasal 281 KUHP menyebutkan diancam dengan pidana barangsiapa dengan sengaja secara terbuka melanggar kesusilaan dan barang siapa dengan sengaja dihadapan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan hendaknya atau melanggar kesusilaan.
Pasal 282 ayat (1) sampai ayat (3) KUHP, terkait tindak pidana menyebarluaskan, mempertunjukan secara terbuka suatu tulisan, gambar dan benda yang menyinggung kesusilaan.
Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 282 ayat (1) KUHP melarang dilakukannya tiga jenis tindak pidana, yaitu:
(a) Menyebarluaskan mempertunjukan atau menempelkan secara terbuka suatu tulisan yang diketahui isinya, suatu gambar atau benda yang sifatnya melanggar kesusilaan;
(b) Membuat, memasukan, mengeluarkan atau mempunyai dalam persediaan suatu tulisan yang diketahui isinya, suatu gambar atau benda yang sifatnya melanggar kesusilaan;
(c) Tanpa diminta menawarkan atau menyatakan sebagai dapat diperoleh suatu tulisan yang telah diketahui isinya, suatu gambar atau benda yang sifatnya melanggar kesusilaan, baik itu dilakukan secara terbuka maupun dilakukan dengan cara menyebarluaskan suatu tulisan.