BEBERAPA hari terakhir, demonstrasi besar yang terjadi di sejumlah kota Indonesia kembali menyita perhatian publik.
Aksi yang semula berjalan damai berubah ricuh, gas air mata mengepul, barisan massa pecah, dan rumah-rumah beberapa tokoh politik menjadi sasaran amuk.
Laporan penjarahan bermunculan. Rumah dan gedung dibobol, barang pribadi berpindah tangan, dan kata “penjarahan” kembali memenuhi ruang pemberitaan.
Fenomena ini bukan hal baru. Setiap kali kerusuhan pecah seperti saat Reformasi 1998, kerusuhan sosial, atau bahkan bencana alam, kabar penjarahan hampir selalu menyertai.
Pertanyaannya: apakah tindakan tersebut dapat diproses pidana, ataukah chaos menjadi alasan yang “memaklumi” perilaku massa?
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memang tidak mengenal istilah “penjarahan” secara eksplisit. Namun, perbuatan itu tercakup dalam beberapa pasal yang relevan.
Baca juga: Phobia Darurat Militer: Trauma Lama dalam Perwajahan Baru
Pasal 362 KUHP menyebut pencurian sebagai perbuatan mengambil barang milik orang lain secara melawan hukum.
Pasal 363 ayat (1) ke-2 lebih tegas lagi mengatakan bahwa pencurian yang dilakukan “pada waktu kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, huru-hara, pemberontakan, atau bahaya perang” diancam pidana lebih berat, maksimal tujuh tahun penjara.
Artinya, kekacauan bukanlah pembenar yang meringankan. Sebaliknya, KUHP justru menganggap situasi chaos sebagai alasan pemberatan.
Jika pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan cara merusak, ancaman hukuman dapat naik hingga sembilan tahun.
Dan bila ada kekerasan terhadap orang, Pasal 365 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan dapat menjerat ancaman jauh lebih tinggi lagi, bahkan seumur hidup.
Selain itu, Pasal 170 KUHP tentang kekerasan bersama-sama di muka umum, serta Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang, seringkali dilapis dalam dakwaan untuk memperkuat jeratan hukum.
Dalam praktiknya, aparat penegak hukum kerap menggabungkan pasal-pasal tersebut sehingga ruang pembelaan bagi pelaku penjarahan semakin sempit.
Pengalaman penegakan hukum menunjukkan bahwa aparat tidak kesulitan mencari dasar pasal. Rekaman CCTV, dokumentasi warga, serta barang bukti yang ditemukan di tangan pelaku menjadi kunci.
Pasal tentang penyertaan (Pasal 55-56 KUHP) memungkinkan polisi dan jaksa menjerat bukan hanya pelaku utama, tetapi juga mereka yang turut serta, membantu, atau menikmati hasil penjarahan.