MUNCULNYA kembali usulan pengawasan yudisial (judicial scrutiny) atas upaya paksa yang dilakukan dalam penyidikan pada pembahasan RUU KUHAP telah membawa kita kembali pada perdebatan soal Praperadilan dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP).
Hukum Acara Pidana seyogyanya merupakan aturan yang memungkinkan dilakukannya “pelanggaran HAM” berupa upaya paksa yang “diperbolehkan” oleh undang-undang untuk kepentingan penegakan hukum pidana. Misalnya menangkap, menahan, menggeledah, menyita, menyadap dll.
Meski tidak hanya ada pada tingkat penyidikan, tapi upaya paksa cenderung lebih banyak dilakukan pada penyidikan sebagai pintu gerbang sistem peradilan pidana, sehingga tidak akan pernah lepas dari kritik atas ketidakprofesionalan dan penyalahgunaan wewenang oleh aparat.
Dalam Rancangan KUHAP (2012), HPP pernah diproyeksikan untuk menggantikan Praperadilan yang awalnya dimaksudkan menjadi “habeas corpus ad subjiciendum”, yaitu tempat “mengadukan” pelanggaran hak asasi dalam peradilan pidana.
Sayangnya kini Praperadilan dianggap terlalu formil dan terbatas kewenangannya.
Baca juga: Menggali Pemikiran Yap Thiam Hien soal Penahanan
Namun, perdebatan sesungguhnya antara model HPP dan Praperadilan sebagai pengawasan yudisial terhadap upaya paksa, kini bukanlah terletak pada soal penamaan keduanya, melainkan pada timing dari kewenangannya, yaitu apakah di awal (ante factum) untuk HPP dan sesudahnya (post factum) untuk Praperadilan.
Dalam menentukan model pengawasan yudisial apa yang akan diterapkan dalam RUU KUHAP haruslah memperhatikan keseimbangan dari pengendalian kejahatan (Crime Control Model) dan proses hukum sebagaimana mestinya (Due Process of Law), yang paling cocok dan dapat dilaksanakan di seluruh Indonesia.
Menurut Herbert L. Packer, Crime Control Model menekankan bahwa pemberantasan kejahatan merupakan fungsi terpenting yang harus dilaksanakan dalam proses pidana.
Kegagalan penegakan hukum dalam mengendalikan kejahatan justru akan mengakibatkan rusaknya ketertiban umum dan merugikan keamanan dari masyarakat.
Dengan kata lain, model yang mirip seperti “jalur perakitan” ini menaruh perhatian utama pada efisiensi dan efektifitas dari suatu proses pidana dalam menyaring tersangka, menentukan kesalahan, dan disposisi akhir terhadap seorang terdakwa, yaitu dibebaskan atau dijatuhi sanksi pidana.
Sedangkan, Due Process of Law, menurut Packer, ibaratnya merupakan “jalur rintangan”, yaitu berupa tahap-tahap berurutan yang dirancang untuk menjadi hambatan dalam membawa tersangka lebih jauh ke dalam proses pidana, yang bertujuan melindungi hak-hak individu dari penyalahgunaan kekuasaan oleh Negara.
Model ini menuntut adanya pencegahan dan sebisa mungkin penghapusan pelanggaran prosedural yang dilakukan penyidik dan penuntut umum dalam suatu proses pidana. Bahkan terdapat sanksi atas dilakukannya pelanggaran oleh aparat penegak hukum.
Yang menarik, Penjelasan Pasal 4 RUU KUHAP versi 3 Maret 2025, menyebutkan bahwa yang dimaksud para pihak berlawanan secara berimbang (sistem adversarial) harus menjamin keseimbangan antara hak penyidik, hak penuntut umum dan/atau hak Tersangka/Terdakwa dalam proses peradilan pidana.
Baca juga: Mau Dibawa Kemana Advokat Dalam RUU KUHAP?
Dengan kata lain, ratio legis yang diamanatkan dalam RUU KUHAP seharusnya berupaya mencari keseimbangan antara kedua model tersebut guna memastikan tercapainya kebenaran materiil dan kepastian hukum yang berkeadilan.
Melihat kewenangan Negara yang begitu besar dalam menentukan perbuatan apa yang ditetapkan sebagai tindak pidana (jus poenale) dan memproses hukum pelaku tindak pidana (jus puniendi), maka model HPP nampaknya terkesan ideal.