
PADA 1973, psikolog David Rosenhan menerbitkan hasil eksperimennya yang monumental, “On Being Sane in Insane Places”.
Dalam studi ini, Rosenhan dan tujuh sukarelawan sehat (pseudopasien) mendatangi 12 rumah sakit jiwa berbeda dengan mengeluhkan satu gejala palsu: mereka mendengar suara-suara samar yang mengucapkan kata "kosong", "hampa", atau "gedebuk".
Segera setelah mereka berhasil dirawat inap, mereka berhenti menunjukkan gejala apa pun dan berperilaku sepenuhnya normal.
Hasilnya sangat mengejutkan. Staf medis, yang telah melabeli mereka dengan diagnosis seperti skizofrenia, secara konsisten menafsirkan semua perilaku normal mereka sebagai bukti penyakit jiwa.
Mencatat pengalaman dalam buku harian disebut sebagai "perilaku menulis patologis", dan mondar-mandir di koridor karena bosan dianggap sebagai "kegelisahan nervosa".
Eksperimen Rosenhan ini membuktikan secara telak bahwa sekali label dilekatkan oleh otoritas, label itu menjadi realitas yang mendefinisikan segalanya, membuat otoritas tersebut tidak mampu lagi membedakan kewarasan dari kegilaan (Rosenhan, D. L., Science, 1973).
Baca juga: Politik Kerusuhan dan Masa Depan Demokrasi
Eksperimen Rosenhan ini, secara mengerikan, menjadi cermin presisi bagi respons negara terhadap gelombang protes publik yang melanda negeri.
Ketika rakyat "menjerit" karena nyeri akibat ketidakadilan ekonomi dan arogansi kekuasaan, negara, melalui sebagian elitenya, justru mendiagnosis jeritan itu sebagai ancaman patologis.
Wacana darurat sipil atau militer yang mulai diembuskan, sebagaimana diulas dalam laporan Kompas (2/9/2025), bukanlah tawaran penyembuhan, melainkan label "skizofrenia sosial" yang dilekatkan pada kritik publik.
Ini adalah manuver gaslighting skala kebangsaan: upaya sistematis untuk meyakinkan rakyat bahwa masalahnya bukanlah penyakit korupsi dan disfungsi kelembagaan, melainkan suara mereka yang dianggap terlalu berisik.
Seperti staf rumah sakit dalam eksperimen Rosenhan, negara sedang berusaha keras memanipulasi realitas—menggeser fokus dari kegagalannya sendiri kepada rakyat yang dipaksa menjadi kambing hitam atas krisis yang tidak mereka ciptakan.
Langkah pertama dalam setiap operasi gaslighting adalah memutarbalikkan narasi. Aspirasi publik yang lahir dari penderitaan nyata secara sengaja dibingkai ulang menjadi ancaman keamanan.
Teori pembingkaian (framing) dari sosiolog Erving Goffman (1974) menjelaskan bagaimana elite politik dapat menyeleksi aspek-aspek tertentu dari realitas dan membuatnya lebih menonjol dalam teks komunikasi.
Dalam kasus ini, gambar-gambar penjarahan dan pembakaran—yang seringkali merupakan ekses minor dari gerakan besar—diperbesar secara tidak proporsional untuk mendefinisikan keseluruhan protes.
Sementara itu, data substansial yang menjadi bahan bakar kemarahan publik sengaja diabaikan.