Ahad pagi (8/6/2025). Langit Surabaya mulai beranjak cerah ketika langkah kaki saya menelusuri area car free day di sekitar Jalan Tunjungan.
Udara segar, anak-anak bersepeda, dan deru langkah orang-orang yang berolahraga menjadi pemandangan yang menyejukkan jiwa.
Seperti biasa, saya membiarkan kaki ini berjalan ke mana ia ingin melangkah. Kali ini, ia membawa saya ke Jalan Embong Malang, lalu berbelok ke Blauran.
Blauran, bagi warga lama Surabaya, menyimpan cerita masa silam sebagai kawasan pusat bisnis kota. Central business district (CBD), begitu julukannya dulu.
Namun pagi itu, bukan deretan toko atau kenangan masa lalu yang menyita perhatian saya, melainkan sebuah papan sederhana bertuliskan "Masjid Da'wah", dengan ejaan lama yang terasa penuh nostalgia.
Papan itu terpasang di sudut Jalan Blauran Kidul 2/21. Tak terlihat mencolok, nyaris luput dari pandangan mereka yang lalu-lalang.
Namun bagi saya, yang sejak lama penasaran dengan masjid ini, keberadaannya seperti sebuah undangan tak tertulis. Dan pagi itu, saya mengabulkan rasa ingin tahu yang telah lama tertahan.
Masjid Da'wah dikelola oleh Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Genteng. Lokasinya tidak seperti masjid-masjid besar di tengah kota yang menempati lahan luas dan langsung terlihat dari jalan raya.
Masjid ini tersembunyi, berada di perkampungan padat, diapit bangunan bertingkat, dan hanya bisa diakses melalui gang sempit, sekitar 1,5 meter lebarnya dan sepanjang 50 meter. Untuk mencapainya, sepeda motor pun harus dituntun dengan sabar.
Gang itu terasa sunyi, seperti lorong waktu yang perlahan membawa saya menjauh dari hiruk-pikuk Kota Surabaya yang tak pernah benar-benar tidur.