Di tengah semarak Hari Raya Iduladha yang identik dengan penyembelihan hewan kurban, terdapat sebuah tradisi unik dan sarat makna yang tetap lestari di kota kecil Kudus, Jawa Tengah. Di kota ini, masyarakat Muslim sejak ratusan tahun yang lalu tidak menyembelih sapi saat Iduladha, namun menggantinya dengan kerbau. Bukan karena alasan ekonomi atau ketersediaan hewan, melainkan karena warisan ajaran kultural religius dari Sunan Kudus yang mencerminkan kearifan mendalam dalam membangun harmoni sosial dan lintas keyakinan.
Tradisi ini telah berlangsung sejak abad ke-15, ketika Sunan Kudus salah satu dari Walisongo yang berperan dalam penyebaran Islam di tanah Jawa, menyebarkan ajaran Islam dengan pendekatan damai dan inklusif. Dalam konteks sosiologi agama, langkah ini mencerminkan dimensi komunitas religius yang tidak hanya menyebarkan keyakinan, tetapi juga merawat relasi sosial masyarakat plural secara etis dan penuh empati.
Sapi, dalam ajaran Hindu, merupakan hewan yang dianggap suci dan tidak boleh disakiti. Di masa Sunan Kudus hidup, komunitas Hindu masih merupakan bagian signifikan dari masyarakat di wilayah Kudus. Menyembelih sapi saat ritual Islam seperti kurban tentu bisa menimbulkan ketegangan antarumat beragama. Maka, sebagai bentuk toleransi dan akomodasi nilai lintas agama, Sunan Kudus mengajarkan penggantian hewan kurban dari sapi menjadi kerbau.
Langkah ini bukan sekadar strategi pragmatis. Ia mencerminkan religious wisdom, kebijaksanaan keagamaan yang lahir dari pemahaman bahwa kesucian sebuah ibadah tidak terletak pada bentuk lahiriah semata, melainkan pada niat, semangat pengorbanan, dan penghormatan terhadap kehidupan bersama. Di sinilah tampak bagaimana religiusitas tidak bersifat eksklusif, melainkan dialogis dan menyatu dalam konteks sosial.
Sunan Kudus tidak mengajarkan umat untuk memaksakan keyakinan, tapi mengajak memahami perbedaan. Kurban tanpa sapi bukan kelemahan syariat, tapi kekuatan spiritual yang menghargai sesama dan merawat damai dalam bingkai iman yang inklusif.
Masjid Menara Kudus, yang dibangun oleh Sunan Kudus dan masih berdiri hingga kini, menjadi simbol konkret dari semangat ini. Arsitekturnya yang memadukan unsur Hindu dan Islam, serta lokasinya yang menjadi pusat penyembelihan kerbau kurban setiap Iduladha, menjadikan masjid ini bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga monumen perdamaian dan kesadaran lintas budaya.
Dalam perspektif sosiologi agama, praktik ini dapat dibaca sebagai bagian dari dimensi ritualistik religiusitas yang mengalami adaptasi kultural. Sunan Kudus tidak mengubah esensi ibadah kurban, tetapi ia menyesuaikan medium ritualnya agar tidak mencederai kohesi sosial. Ini adalah bentuk relasi sosial yang menghargai simbol-simbol sakral agama lain, sambil tetap memelihara keutuhan ajaran Islam.
Tradisi ini menjadi contoh bagaimana religiusitas tidak terjebak dalam doktrin sempit, tetapi justru menjadi kekuatan yang memperhalus relasi sosial. Seperti yang dikemukakan Emile Durkheim, agama adalah mekanisme solidaritas sosial. Dalam kasus Kudus, agama berperan tidak hanya sebagai sistem keyakinan, tetapi juga sebagai sistem sosial yang menciptakan harmoni.
Tak mengherankan jika tradisi ini terus diwariskan turun-temurun oleh masyarakat Kudus, bahkan hingga hari ini. Setiap Iduladha, kerbau-kerbau disiapkan untuk dikurbankan di halaman Masjid Menara, disaksikan oleh masyarakat dengan penuh penghormatan terhadap nilai sejarah dan spiritual yang melingkupinya.
Anak-anak di Kudus sejak dini diajarkan bahwa menyembelih sapi untuk kurban bukanlah larangan syar'i, melainkan bentuk penghormatan terhadap sesama yang berbeda keyakinan. Ini menjadi bagian dari pendidikan nilai yang membentuk religiusitas yang inklusif dan tidak reaktif terhadap perbedaan.
Menariknya, dalam berbagai diskusi modern tentang pluralisme dan toleransi, Kudus kerap dijadikan contoh nyata dari teologi sosial yang membumi. Tanpa jargon pluralisme, masyarakat Kudus telah mempraktikkan kehidupan yang harmonis sejak ratusan tahun lalu, berlandaskan nilai-nilai yang digali dari warisan tokoh agamanya sendiri.