Dulu, nama Shopee & Tokopedia seolah menjadi sinonim dari belanja online. Jingle-nya mengalun dari televisi hingga ponsel, promo "gratis ongkir" jadi candu digital yang membuat siapa pun tergoda check out barang, bahkan hanya untuk sepasang kaus kaki.
Shopee, Tokopedia, Lazada, dan Blibli hidup di puncak kejayaan.
Namun kini, dunia maya tak lagi seceria dulu. Suasana digital mulai suram, seperti lampu toko yang perlahan diredupkan.
Dari layar yang penuh notifikasi diskon, berita yang muncul justru berisi tentang PHK, penurunan kunjungan, dan arah bisnis yang tak pasti.
Data Tak Pernah Berbohong
April 2025 menjadi titik balik. Menurut Goodstats.id, penurunan tajam terjadi pada trafik kunjungan ke situs-situs e-commerce besar:
- Shopee: turun 10,6% (132 juta kunjungan)
- Tokopedia: turun 8,9% (64,9 juta kunjungan)
- Lazada: anjlok 23,5% (42 juta kunjungan)
- Blibli: ambruk 49,6% (14,1 juta kunjungan)
Ini bukan hanya angka. Ini adalah sinyal bahwa belanja online sedang kehilangan pesonanya.
PHK: Narasi Efisiensi atau Gelombang Kepanikan?
Di balik penurunan trafik, badai yang lebih menyakitkan melanda: Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Shopee memutus kontrak lebih dari 300 pekerja di proyek konten videonya di Solo. Tokopedia, setelah merger besar dengan TikTok Shop, ikut memangkas ratusan posisi. ByteDance --- raksasa di balik TikTok --- pun tak ketinggalan memangkas tim logistik, pemasaran, dan gudang.
Jika dulu perusahaan berlomba merekrut demi ekspansi, kini mereka berbondong-bondong mengencangkan ikat pinggang.
Bagi para pekerja muda yang pernah membanggakan diri bekerja di industri digital, ini bukan sekadar kehilangan pekerjaan --- ini kehilangan arah.
Bukalapak: Menyerah dari Barang Fisik
Berbeda dari yang lain, Bukalapak memutuskan untuk berhenti menjual barang fisik. Mereka memilih fokus pada produk digital seperti pulsa, voucher, dan layanan lain yang tak perlu gudang dan pengiriman.