Ketika Dua Raksasa Berjalan Beriringan
Hubungan antara Donald Trump dan Elon Musk bukanlah sekadar pertemanan biasa antara politisi dan pengusaha. Keduanya merepresentasikan dua kutub kekuatan besar di Amerika: politik populis kanan dan teknologi disruptif.
Sejak masa kepresidenannya, Trump melihat Musk sebagai ikon inovasi yang bisa memperkuat citra Amerika sebagai bangsa unggul, mandiri, dan terdepan dalam sains.
Di sisi lain, Musk juga tak segan menunjukkan simpati terhadap kebijakan Trump, terutama dalam isu perpajakan perusahaan, deregulasi bisnis, dan resistensi terhadap dominasi lembaga multinasional. Keduanya memiliki kesamaan visi: menantang status quo, baik itu dalam politik mapan maupun dalam dominasi korporasi lama.
Momen-momen seperti peluncuran ulang misi luar angkasa dari tanah AS oleh SpaceX, dengan dukungan terbuka dari pemerintah Trump, menegaskan keharmonisan mereka.
Bahkan ketika banyak tokoh Silicon Valley menjauhi Trump karena retorika kontroversialnya, Musk tetap bersikap terbuka, bahkan sempat tergabung dalam forum penasihat ekonomi Gedung Putih meski akhirnya mundur karena isu Paris Agreement.
Namun hingga titik itu, keduanya masih saling membutuhkan. Musk butuh akses dan dukungan regulasi, sementara Trump butuh sosok ikon teknologi yang bisa memperkuat pesan "Make America Great Again" secara futuristik.
Saat itu, dunia melihat keduanya seperti dua raksasa yang saling menguatkan. Trump dengan kekuatan politik dan pengaruh massa, Musk dengan teknologi dan narasi masa depan.
Relasi ini tampak seperti simbiosis mutualisme: saling menguntungkan, saling melindungi, dan saling memanfaatkan panggung satu sama lain. Tapi seiring waktu, ternyata jalur masing-masing tak lagi sejajar.
Pecah Kongsi: Ketika Proyek Antariksa Jadi Tumbal