Di keramaian narasi pembangunan, sebuah entitas baru sedang digagas negara. Apa itu? Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara --- disingkat Danantara. Di atas kertas, Danantara adalah upaya membentuk super holding BUMN dengan struktur kewenangan yang monumental, modal awal seribu triliun rupiah, dan ambisi untuk mengelola, mengonsolidasikan, serta mengakselerasi peran BUMN dalam perekonomian nasional. Tapi di luar dokumen resmi dan konferensi pers, muncul pertanyaan yang lebih sunyi, lebih hakiki, "untuk siapa semua ini? Dan siapa yang sebenarnya menunggu kehadirannya?"
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 yang melandasi pembentukan Danantara menyebut secara eksplisit bahwa BUMN harus berasaskan demokrasi ekonomi --- dengan prinsip kebersamaan, efisiensi yang berkeadilan, keberlanjutan, dan tata kelola perusahaan yang baik. Namun dalam pasal-pasal lainnya, terlihat pula watak korporatis yang sangat menonjol, yaoti Holding Investasi dan Holding Operasional diarahkan untuk memaksimalkan dividen, mengembangkan aset, hingga menjual surat utang dan menyalurkan pinjaman antar entitas BUMN. Bahkan, Pasal 3G mencantumkan bahwa modal awal Badan adalah Rp1.000 triliun --- angka yang menyiratkan skala yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah kebijakan publik Indonesia.
Di sini tampaklah paradoks, negara mengklaim ingin menjunjung demokrasi ekonomi, namun desain kelembagaan yang dibentuk justru mengukuhkan konsentrasi kuasa di tangan aktor-aktor terbatas---yang bahkan tak bisa dimintai pertanggungjawaban hukum (lihat Pasal 3Y), kecuali terbukti lalai secara hukum yang sangat sempit. Pertanyaannya, benarkah rakyat adalah pemegang saham utama dari struktur seperti ini?
Perenungan ini mengajak kita untuk menyambangi Jrgen Habermas ke ruang diskusi publik. Habermas mengajarkan kita tentang ruang publik deliberatif, tempat keputusan kolektif harus diproses melalui rasionalitas komunikatif, bukan teknokrasi tertutup. Jika Danantara lahir tanpa keterlibatan nyata masyarakat --- tanpa ruang deliberatif, tanpa kritik, tanpa partisipasi substantif --- maka kita bukan sedang membangun demokrasi ekonomi, tetapi hanya menciptakan ilusi partisipasi di tengah logika pasar yang makin hegemonik.
Maka pertanyaan ini bukan sekadar retoris: siapa yang sebenarnya menunggu Danantara? Apakah rakyat kecil di pesisir dan perdesaan, ataukah elite ekonomi-politik yang menunggu infrastruktur kekuasaan baru untuk ekspansi modalnya? Siapa yang akan menjadi subjek dari kebijakan ini, dan siapa yang akan sekadar menjadi objek dari narasi besar yang sudah dituliskan sebelumnya?
Mungkin kita tidak memerlukan jawaban hari ini. Tapi setidaknya, kita harus terus bertanya --- karena di dalam pertanyaanlah letak penjagaan etika kekuasaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI