Di sudut Batavia yang sudah dilupakan peta dan dinistakan trem listrik, berdiri sebuah masjid tua yang menolak bersuara. Letaknya di belakang Pasar Pagi, di antara gudang rempah yang dulunya menyimpan cengkih dan kini menyimpan tikus berdiploma. Orang menyebutnya Masjid Al-Samitu, yang artinya, entah kebetulan atau takdir, “Yang Bisu”.
Masjid itu tidak seberapa besar, hanya cukup untuk menampung lima saf salat Jumat jika imamnya orang yang tidak cerewet dan makmumnya tidak keberatan salat sambil merapat ke tembok. Tapi bangunannya kokoh, dengan dinding batu karang dari utara Jawa, langit-langit tinggi bergaya Timur Tengah, dan kubah tembaga yang warnanya sudah seperti mangkuk rendang bekas pesta pernikahan.
Konon, masjid itu dibangun tahun 1807 oleh seorang saudagar Arab bernama Zayyed Umar dan tukang batu dari Tegal yang hanya dikenal sebagai Pak Darman, yang dalam mitos lokal dianggap sebagai wali yang gemar main judi gapleh dan menyembunyikan kitab tafsir di bawah bantal tidur.
Tak ada yang tahu siapa yang memulai cerita itu. Seperti halnya kisah-kisah di Batavia, kebenaran hanya perlu cukup menghibur agar layak dipercayai. Yang jelas: sejak pertama kali berdiri, masjid itu tak pernah mengumandangkan azan.
Bukan karena tak ada muazin, para lelaki saleh datang silih berganti, dari pemuda dengan suara emas hingga kakek-kakek bersuara bariton. Mereka naik ke menara kecil berkubah hijau lumut, mengangkat tangan ke telinga, membuka mulut, dan… diam. Mulut bergerak, tenggorokan menegang, tapi suara tak keluar. Seolah udara menolak dirambati seruan Ilahi.
Orang-orang mengira itu kutukan. Atau ujian. Atau kelalaian tukang pasang pengeras suara. Tapi itu sebelum pengeras suara ditemukan.
Yang menarik, setiap muazin yang mencoba mengumandangkan azan di sana kehilangan suara mereka. Tidak hanya di masjid, tapi di luar juga. Suara mereka seperti dicabut dan disimpan entah di mana, mungkin di langit-langit masjid yang penuh sarang kelelawar atau di cerobong rahasia yang konon mengarah ke Laut Jawa.
Beberapa dari mereka sembuh setelah tujuh hari. Yang lain perlu tujuh bulan. Dan satu dua orang, termasuk seorang guru tarekat dari Banten, tak pernah bisa berbicara lagi, kecuali dalam mimpi istrinya.
Warga sekitar sudah lama berdamai dengan keanehan itu. Mereka tetap salat, tetap berdoa, dan malah menganggap masjid bisu itu tempat paling khusyuk di Batavia. “Karena tidak ada yang ribut,” kata seorang jamaah setempat yang juga tukang cukur keliling. “Di masjid lain, orang salat sambil batuk, bersin, dan kadang debat soal panjang pendeknya bacaan. Di sini, semua diam. Termasuk imam.”
Imamnya bernama Haji Mahmud, seorang pria pendek dengan janggut seukuran ekor tikus. Ia bicara pelan, nyaris berbisik, bahkan saat khutbah Jumat. Tapi tak seorang pun keberatan. Mereka bilang, "Bukan kami tidak mendengar, tapi kami tidak berani tidak mendengarkan."