Di tengah realitas ekonomi saat ini, memiliki rumah pribadi semakin menjadi mimpi yang sulit diwujudkan, terutama bagi generasi milenial. Kenaikan harga properti yang tidak sebanding dengan pertumbuhan pendapatan membuat rumah menjadi simbol eksklusivitas bagi mereka yang memiliki penghasilan tinggi atau akses terhadap privilege tertentu, seperti warisan keluarga atau dukungan modal orang tua. Namun, apakah mimpi memiliki rumah sepenuhnya harus dikubur? Tentu tidak. Kuncinya adalah pada strategi perencanaan finansial yang cerdas dan adaptif.
Banyak orang terjebak dalam narasi lama bahwa rumah adalah kebutuhan dasar dan prioritas pertama dalam kehidupan dewasa. Padahal dalam konteks modern, mobilitas kerja yang tinggi dan kebutuhan fleksibilitas tempat tinggal sering membuat kepemilikan rumah menjadi beban, bukan solusi. Milenial yang cerdas perlu melihat kepemilikan rumah bukan sebagai simbol kesuksesan, melainkan sebagai bagian dari portofolio aset jangka panjang yang direncanakan secara rasional.
Salah satu strategi paling relevan yang bisa digunakan generasi milenial adalah memanfaatkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) jangka panjang dengan tenor yang disesuaikan dengan kemampuan finansial pribadi. Meskipun bunga KPR bisa menambah beban, jika direncanakan dengan matang dan disiplin, KPR tetap menjadi jalan legal dan logis untuk memiliki rumah, apalagi di tengah lonjakan harga properti yang terus terjadi setiap tahun.
Namun, membeli rumah lewat KPR bukan berarti sembarang memilih lokasi dan harga. Idealnya, rumah yang dibeli bukan semata untuk ditinggali, tetapi juga harus memiliki potensi nilai tambah di masa depan. Itu berarti, lokasi, aksesibilitas, dan potensi pengembangan kawasan menjadi pertimbangan penting. Bahkan, ada kalanya lebih bijak memilih kontrakan yang dekat tempat kerja untuk efisiensi waktu dan biaya, sementara rumah KPR bisa dipilih di kawasan berkembang sebagai investasi jangka panjang.
Memiliki rumah bukan tentang seberapa cepat kita mampu membeli, tapi seberapa cerdas kita merencanakan. Rumah impian bukan milik mereka yang terburu-buru, tapi milik mereka yang sabar, disiplin, dan paham cara mengelola aset dengan strategi jangka panjang.
Dalam kerangka perencanaan keuangan yang sehat, generasi milenial juga harus menyadari pentingnya membangun kekayaan finansial melalui instrumen yang lebih produktif. Saham di pasar modal, reksa dana, dan tabungan emas di bank menjadi pilihan cerdas untuk menumbuhkan aset. Instrumen ini tidak hanya lebih likuid dibanding properti, tetapi juga memiliki potensi imbal hasil yang cukup tinggi, tentu dengan risiko yang bisa dikelola melalui diversifikasi dan edukasi finansial.
Banyak milenial merasa tertekan untuk segera memiliki rumah karena standar sosial yang dibentuk oleh generasi sebelumnya. Padahal, dunia kerja kini menuntut fleksibilitas domisili dan mobilitas tinggi. Menetap di satu kota untuk waktu lama seringkali tidak realistis, terutama dalam industri kreatif, digital, dan startup. Oleh karena itu, rumah sebaiknya tidak selalu dijadikan prioritas utama dalam urutan kebutuhan hidup.
Alih-alih memaksakan diri membeli rumah, milenial bisa memulai dengan membangun aset likuid yang bisa digunakan sebagai down payment (DP) dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan. Ini bisa dilakukan dengan menyisihkan minimal 20--30 persen dari penghasilan bulanan ke dalam produk investasi seperti reksa dana pasar uang atau saham blue chip yang stabil. Dengan cara ini, milenial memiliki keleluasaan untuk menyesuaikan keputusan membeli rumah dengan kesiapan finansial dan kondisi pasar properti.
Perencanaan finansial jangka panjang bukan sekadar penghematan, tetapi tentang produktivitas dana. Setiap rupiah yang dimiliki harus "bekerja" untuk menghasilkan nilai tambah. Menyimpan uang di tabungan biasa dengan bunga rendah jelas tidak cukup. Milenial perlu berani mengambil langkah strategis, termasuk berkonsultasi dengan perencana keuangan untuk merancang peta keuangan pribadi yang komprehensif dan realistis.
Dalam konteks ini, memiliki rumah tetap bisa dijadikan tujuan akhir, namun bukan sebagai simbol status sosial melainkan bagian dari strategi diversifikasi aset. Kombinasi antara portofolio finansial yang produktif dengan rencana pembelian properti jangka panjang akan memberikan keamanan finansial yang lebih stabil, terutama menghadapi tantangan ekonomi global yang fluktuatif.
Lebih dari itu, literasi keuangan menjadi prasyarat utama. Tanpa pemahaman yang cukup tentang bagaimana uang bekerja, investasi, dan manajemen risiko, generasi milenial akan terus menjadi korban narasi konsumtif. Padahal, dengan pemahaman yang tepat, mereka bisa mengubah cara pandang dari "segera punya rumah" menjadi "siap secara finansial memiliki aset jangka panjang".