Kebijakan B40 yang mulai berlaku pada 2025, membawa konsekuensi ganda. Di satu sisi, kebijakan ini mendukung agenda energi hijau nasional. Di sisi lain, kebutuhan sawit untuk biodiesel menyedot pasokan yang sebelumnya ditujukan ke pasar global.
Reuters memprediksi harga CPO Malaysia akan naik sekitar 5,4 persen menjadi RM 4.350 per ton karena pasokan dunia menyusut. Kondisi ini menguji ketahanan dan strategi sektor perkebunan kita.
Di tengah situasi dan dinamika yang terjadi, jalan ke depan harus dibangun di atas harmonisasi antara kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial.
Pada dimensi ekonomi, peremajaan dan modernisasi perkebunan merupakan kunci. Replanting tidak boleh lagi dianggap pilihan, melainkan keharusan.
Pemerintah harus memperkuat skema insentif bagi petani kecil, memperluas pembiayaan yang terjangkau, dan mendorong model koperasi modern.
Teknologi digital seperti drone untuk pemantauan kebun, precision farming, dan irigasi cerdas perlu diterapkan agar produktivitas meningkat.
Dengan pendekatan ini, generasi muda juga bisa kembali tertarik pada perkebunan, karena sektor ini tidak lagi dipandang sebagai kerja tradisional yang penuh risiko, melainkan arena inovasi dengan prospek modern.
Dari sisi konsumsi domestik, biodiesel B40 adalah tonggak penting yang akan menuju B50. Namun, pemerintah harus memastikan kapasitas produksi biodiesel nasional terus ditingkatkan agar lonjakan konsumsi tidak melupakan ekspor.
Diversifikasi produk juga harus dipacu. Sawit sebaiknya tidak hanya digunakan untuk produk pangan dan energi saja, melainkan juga untuk berbagai produk bernilai tambah tinggi, mulai dari oleokimia, kosmetik, farmasi, hingga pangan sehat. Diversifikasi ini sekaligus memperkuat daya saing global.
Baca juga: Liberika dan Excelsa: Jejak Eksotisme Kopi Nusantara
Pada dimensi lingkungan, era transisi hijau menuntut komitmen kuat. Sawit Indonesia sering menjadi sorotan karena tuduhan deforestasi.
Untuk menjawabnya, regulasi larangan alih fungsi hutan dan gambut harus ditegakkan tanpa kompromi.
Pengembangan agroforestri dan pertanian regeneratif dapat menjadi solusi yang menyeimbangkan produksi dengan konservasi ekosistem.
Pemanfaatan limbah sawit menjadi energi terbarukan juga harus digalakkan sebagai wujud komitmen terhadap ekonomi sirkular.
Ketertelusuran dan sertifikasi menjadi instrumen vital untuk menembus pasar global yang semakin ketat, terutama dengan hadirnya regulasi European Union Deforestation Regulation (EUDR).
Sertifikasi ISPO tidak boleh berhenti sebagai formalitas administratif. Implementasi yang nyata dengan sistem ketertelusuran berbasis digital, bahkan dengan teknologi blockchain yang akan menjadi jaminan integritas produk sawit Indonesia di mata dunia.