KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu, muncul perbincangan mengenai pantas tidaknya pasangan pamer kemesraan di tempat umum di kalangan warganet Indonesia.
Seorang pengguna X memprotes kebiasaan warganet lain yang risih melihat orang bermesraan di ruang umum, seperti transportasi umum.
Ia mengunggah tangkapan layar dari unggahan seorang pengguna lain yang memotret pasangan sedang bermesraan di Transjakarta dan menyampaikan ketidaknyamanannya.
"Apaan dah justru normalize pamer kemesraan anj****. Ni negara minim kasih sayang, orang-nya jadi pada stres kurang ciuman dan pukpuk," tulis akun @ha****dhfn, Senin (6/10/2025).
Baca juga: Hati-hati Romance Scams: Penipuan Virtual Modus Asmara
Unggahan tersebut kemudian memicu beragam tanggapan dari warganet. Hingga beberapa hari setelah dibuat, unggahan itu telah ditonton lebih dari 3,7 juta kali dan terus memunculkan berbagai respons di linimasa.
Sebagian mendukung pandangan tersebut sebagai bentuk ekspresi kasih sayang yang wajar, sementara sebagian lainnya menilai kemesraan di ruang publik tetap perlu memperhatikan norma sosial dan kepantasan.
"Menurut mu, ciuman di depan publik sopan nggak? kalau ada anak kecil yg lihat orang lagi ciuman bibir, gimana perasaanmu? Kalau mau pamer kemesraan kan nggak harus ciuman? Sekedar gandengan tangan, jalan di sampingnya barengan, dengerin cerita dia dengan antusias, dsbnya masih ada," balas akun @ly****jffm.
Dari perbincangan tersebut, muncul pertanyaan mengapa masyarakat cenderung bereaksi keras terhadap pasangan yang pamer kemesraan?
Reaksi masyarakat sebagai bentuk kontrol sosial
Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Drajat Tri Kartono, menjelaskan bahwa reaksi keras masyarakat terhadap pasangan yang bermesraan di ruang publik tidak lepas dari fungsi kontrol sosial yang masih kuat di Indonesia.
Apalagi jika individu yang pamer kemesraan masih anak-anak atau tergolong muda, maka reaksi masyarakat merupakan bentuk dari kontrol sosial agar tindakan itu tidak menimbulkan dampak yang terlalu jauh.
"Perlu diketahui bahwa sebenarnya umur dari orang yang pamer kemesraan ini berapa? Kalau masih anak-anak, masih muda ya, artinya belum berkeluarga. Memang itu akan menjadi upaya dari kontrol sosial," kata Drajat kepada Kompas.com, Sabtu (11/10/2025).
Menurut Drajat, masyarakat menjalankan peran sosial untuk menjaga batas perilaku, terutama bagi anak muda yang belum menikah.
"Masyarakat itu mengontrol agar tidak terjadi perbuatan-perbuatan yang istilahnya terlalu jauh," lanjutnya.
Baca juga: Kenapa Sebagian Perempuan Bersuara Manja Saat di Dekat Pasangan?
Ia menilai, reaksi publik muncul karena pamer kemesraan di tempat umum sering dianggap tanda potensi penyimpangan moral.
Menurut Drajat, kekhawatiran masyarakat terhadap pasangan yang pamer kemesraan di ruang publik berangkat dari asumsi sosial yang lebih dalam. Perilaku yang tampak ringan di tempat umum sering kali dianggap sebagai tanda awal dari tindakan melampaui batas norma kesopanan dan kesusilaan.
"Kalau di depan banyak orang saja dia sudah pamer kemesraan, apalagi kalau anak muda ini kemudian berduaan di sebuah tempat, misalnya di kosnya atau di rumahnya yang enggak ada orang. Maka ini bisa menjadi indikasi akan terjadinya sesuatu yang melampaui batas yaitu seks bebas, hubungan di luar nikah,” kata Drajat.
Karena itu, menurutnya, teguran atau reaksi keras masyarakat sebenarnya merupakan bentuk peringatan sosial agar seseorang tidak terjerumus pada perilaku yang dianggap melanggar norma.
"Jadi ini mesti dilihat bahwa masyarakat menggunakan kontrol sosialnya untuk mengingatkan dia untuk tidak berbuat seperti itu," ujarnya.
Drajat menambahkan, masyarakat menilai tindakan tersebut dapat memberikan dampak negatif. Sebagai contoh jika seseorang hamil di luar nikah maka dampaknya bukan hanya bagi individu, tetapi juga bagi keluarganya.
Baca juga: Ramai soal Tren S Line di Medsos, Apa Jadinya jika Kita Umbar Jejak Hubungan Seksual?
Hubungan laki-laki dan perempuan itu sakral
Namun, jika kemesraan dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah, isu yang muncul berbeda. Dalam konteks ini, perdebatan bukan lagi soal moralitas, melainkan soal kepantasan di ruang publik.
"Tapi kalau itu dilakukan oleh orang yang memang sudah menikah, orang yang sudah dewasa gitu ya, maka kemudian isunya adalah isu kemesraan," ujar dia.
Menurut Drajat, kemesraan dalam budaya Indonesia khususnya Jawa dipandang sebagai hal yang suci dan tidak pantas dipertontonkan.
"Karena kalau kemesraan ini apakah di dalam konsep Jawa atau di Indonesia ya itu kemesraan itu tidak boleh dipamerkan," paparnya.
Ia menjelaskan, hubungan laki-laki dan perempuan dianggap sakral karena berkaitan dengan nilai spiritual dan fungsi penciptaan manusia.
"Jadi di konsep kita orang timur, orang Indonesia, orang Jawa, yang namanya hubungan laki-laki dan perempuan itu sakral. Itu suci," ujarnya.
Drajat mencontohkan simbol Lingga dan Yoni dalam budaya Jawa yang melambangkan kesatuan laki-laki dan perempuan. Simbol itu ditempatkan di ruang sakral karena menggambarkan proses luhur dalam menghadirkan kehidupan manusia.
"Karena dia adalah satu proses yang memiliki peran penting dalam menghadirkan manusia... Maka proses itu luhur dan itu adalah kehendak dari Tuhan," ucapnya.
Baca juga: AS Larang Pegawainya di China Punya Hubungan Asmara dengan Warga Lokal
Kemesraan berada di ruang privat
Drajat menegaskan bahwa kemesraan tidak sepatutnya ditampilkan di sembarang tempat karena memiliki fungsi kultural dan spiritual.
"Unsur-unsur kenikmatan kemesraan itu tidak boleh kita tampil-tampilkan di sesuka kita... Ini ada fungsi mendasar yang secara kultural, secara agama itu penting, makanya disakralkan," jelasnya.
Dalam tradisi Jawa, ruang untuk mengekspresikan kemesraan selalu ditempatkan secara privat.
"Maka di Jawa itu ditaruh di ruang privat, di ruang yang pribadi berdua saja. Tertutup. Kalau sudah menikah dan tidak boleh dilihat oleh anak-anaknya," jelasnya.
Begitu kemesraan dibawa ke ruang publik, masyarakat merasa batas kepantasan telah dilanggar.
"Tapi kalau sampai dibawa keluar itu orang kemudian merasa kayak ini ruangnya sudah beda. Ini ruangnya bukan ruang kamu dan kepentinganmu sendiri," ujarnya.
Terakhir, Drajat menutup dengan pengingat bahwa ruang publik menuntut empati dan rasa hormat terhadap orang lain.
"Ini ruang di mana kita harus saling tepa slira, harus saling empati dengan orang lain, menghormati orang lain. Istilahnya kalau di Jawa ngono yo ngono ning ojo ngono," pungkasnya.
Baca juga: Studi Baru Ungkap Pendapatan Tinggi Punya Peluang Lebih Besar Menjalin Asmara
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang