KOMPAS.com - Sebuah penelitian terbaru mengungkap bahwa negara paling bahagia di dunia bisa menjadi negara paling sehat, asalkan memenuhi ambang batas kebahagiaan tertentu.
Temuan ini dipublikasikan dalam jurnal Frontiers in Medicine, Senin (20/10/2025).
Penelitian tersebut menemukan bahwa tingkat kebahagiaan suatu bangsa berpengaruh terhadap risiko kematian dini akibat penyakit kronis, seperti kanker, penyakit jantung, diabetes, dan gangguan pernapasan.
Para peneliti menggunakan skala Tangga Kehidupan (Life Ladder) untuk mengukur tingkat kebahagiaan di 123 negara.
Dalam skala ini, angka 0 mewakili kehidupan paling buruk, sedangkan skor 10 menggambarkan kehidupan paling baik.
Baca juga: 10 Negara Paling Bahagia dan Makmur di Dunia 2025, Studi Harvard: Indonesia Juaranya
Hasil studi menunjukkan bahwa negara dengan skor kebahagiaan di atas 2,7 cenderung memiliki angka kematian akibat penyakit kronis yang lebih rendah, khususnya pada penduduk berusia 30–70 tahun.
Rata-rata skor kebahagiaan global berada di angka 5,45, dengan rentang 2,18 hingga 7,97.
“Kebijakan yang mampu meningkatkan skor Life Ladder nasional di atas ambang batas 2,7 melalui investasi di sistem kesehatan, reformasi antikorupsi, jaring pengaman sosial, dan lingkungan perkotaan yang sehat, dapat menciptakan siklus positif menuju kebahagiaan lebih tinggi dan angka kematian lebih rendah,” ujar penulis utama studi, Iulia Iuga.
Penelitian juga menunjukkan bahwa peningkatan kesejahteraan, seperti penurunan obesitas, konsumsi alkohol, dan polusi, dapat memberikan dua manfaat sekaligus, yakni kebahagiaan yang lebih tinggi serta umur yang lebih panjang dan sehat.
Bagi negara yang sudah berada di atas ambang batas 2,7, peningkatan kesejahteraan dapat terus memperpanjang angka harapan hidup, seiring meningkatnya stabilitas dan kepuasan hidup masyarakatnya.
Baca juga: Daftar Negara Paling Bahagia 2025, Malaysia Unggul atas Indonesia
Peneliti menemukan bahwa setiap peningkatan 1 persen dalam kesejahteraan nasional berkorelasi dengan penurunan 0,43 persen angka kematian akibat penyakit kronis.
Temuan ini menegaskan semakin kuatnya kaitan antara kebahagiaan dan kesehatan.
“Secara tradisional, kebahagiaan sering dianggap sebagai kemewahan. Menyenangkan rasanya mengetahui bahwa kebahagiaan justru bisa menjadi variabel penting dalam kesehatan masyarakat,” kata Sonja Lyubomirsky, profesor psikologi sekaligus Direktur Laboratorium Aktivitas Positif dan Kesejahteraan (PAWLab) di Universitas California, Riverside.
Meski demikian, Lyubomirsky menekankan bahwa kebahagiaan bukan satu-satunya faktor penentu kesehatan.
Faktor genetik, perilaku, dan lingkungan juga berperan besar dalam menentukan risiko kematian akibat penyakit kronis.