KOMPAS.com – Hana Maulida terpaku di depan layar ponselnya. Dadanya terasa sesak. Napasnya naik turun cepat, seolah ada sesuatu yang menghantam dari dalam.
Perasaan itu datang berulang setiap kali ia mendapati berita tentang kekerasan seksual yang menimpa anak-anak. Matanya memanas, bukan hanya karena sedih, tapi juga marah.
Detak jantungnya pun berpacu cepat, memukul dinding dada dengan irama cemas dan geram. Kasus demi kasus telah membuat Hana tak bisa lagi berdiam diri.
Baca juga: Masih Canggung atau Bingung Saat Ditanya Anak soal Seksualitas? Ini Kiat dari Praktisi
“Anak-anak tumbuh di lingkungan yang belum sepenuhnya aman. Saya ingin mereka tahu bagaimana cara melindungi diri,” tuturnya.
Faktanya, kekerasan terhadap anak masih menjadi masalah besar di Indonesia. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat, sepanjang 2024 terdapat 28.831 kasus kekerasan terhadap anak.
Dari jumlah itu, korban anak perempuan mencapai 24.999 kasus, sedangkan anak laki-laki 6.228 kasus.
Sementara pada tahun ini, hingga 3 Juli, data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) menunjukkan sudah ada 14.039 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dengan lonjakan lebih dari 2.000 kasus hanya dalam 17 hari.
Sayangnya, angka itu bahkan masih jauh di bawah temuan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) dan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 yang mengungkapkan prevalensi kekerasan jauh lebih tinggi.
Laporan Komnas Perempuan dalam CATAHU 2024 turut menegaskan, ranah personal seperti rumah dan lingkungan sekitar masih menjadi lokasi utama terjadinya kekerasan, dengan bentuk yang paling dominan berupa kekerasan psikis dan seksual.
Hana tahu, banyak keluarga memilih diam. Mereka takut dianggap membuka aib. Ada pula yang menyerah sebelum melapor karena merasa tak punya tenaga, biaya, atau keberanian untuk menghadapi proses hukum yang panjang dan melelahkan.
Temuan SNPHAR 2024 menguatkan pula hal itu. Satu dari dua anak di Indonesia didapati pernah mengalami sedikitnya satu bentuk kekerasan, namun hanya sebagian kecil yang kasusnya tercatat dalam sistem pelayanan.
Baca juga: Ini Pentingnya Orang Tua Bicarakan Kesehatan Reproduksi ke Anak Sedini Mungkin
Hadirkan "Kakak Aman"
Sudah dua tahun terakhir, Hana aktif menjangkau anak-anak untuk belajar bersama tentang pendidikan seksual.
Perempuan asal Kota Serang, Banten, ini menggandeng para sukarelawan melalui gerakan #KakakAman, yang ia prakarasi bersama dua rekannya. Gerakan ini digagas atas keresahan bersama karena maraknya kasus kekerasan seksual pada anak di Tanah Air.
Hana sendiri pada mulanya punya pengalaman pribadi bertemu dengan seorang anak berusia 7 tahun yang menjadi korban kekerasan seksual oleh ayah kandungnya sendiri.
“Anak itu ceria sekali, tapi di balik tawanya ada luka yang dalam,” kenang Hana saat diwawancarai Kompas.com, Rabu (29/10/2025).
Yang membuatnya lebih terpukul, sang anak sebenarnya sudah pernah bercerita pada ibunya dan keluarga, namun tidak ditanggapi dengan serius.
“Sebagai seorang ibu, saya merasa terpanggil. Anak usia 7 tahun sudah bisa diajak bicara, diberi tahu bahwa kalau ada orang, termasuk ayahnya sendiri, menyentuh bagian tubuh pribadinya, itu tidak baik,” kata Hana.
Seiring waktu, gerakan #KakakAman berkembang dan saat ini bertransformasi menjadi Yayasan Kakak Aman Indonesia.
Lewat organisasi ini, Hana ingin hadir sebagai “kakak” bagi anak-anak, yakni sosok teman yang bisa mereka percayai, bukan sosok yang menakutkan.
Baca juga: Bahaya Rokok bagi Kesehatan Reproduksi Wanita, Ini Penjelasan Dokter
Edukasi dengan cerita, lagu, dan tawa
Hana menyampaikan, Kakak Aman Indonesia berfokus pada upaya pencegahan kekerasan seksual anak melalui pendidikan seksual yang interaktif dan menyenangkan.
Setiap kali bertemu anak-anak di sekolah-sekolah maupun lingkungan masyarakat, ia bersama sukarekawan lain akan mengajak bercerita, bermain, bernyanyi, menari, dan berinteraksi dalam suasana yang ringan dan aman.
“Kami ingin menanamkan pemahaman bahwa tubuh mereka berharga, diri mereka berharga, dan mereka berhak berkata tidak,” ujar Hana.
Ia percaya, setiap anak berhak tumbuh tanpa bayang-bayang trauma dan ketakutan.
Salah satu momen paling berkesan bagi Hana terjadi saat ia memfasilitasi sesi pendidikan seksual komprehensif untuk anak praremaja.
Saat itu, ia menjelaskan pada kelompok anak perempuan bahwa ketika mereka sudah mengalami menstruasi, berarti tubuh mereka sudah bisa hamil.
“Anak-anak langsung kaget. Ada yang bertanya, ‘Bu, emang anak SD bisa hamil?’. Saya jawab, ‘bisa. Ketika sudah menstruasi, artinya tubuh bisa hamil, tapi bukan berarti kita siap untuk hamil dan punya anak',” ucapnya.
Bagi Hana, pengetahuan sederhana seperti itu sangat penting disampaikan sejak dini. Terlebih lagi, sekarang anak-anak rentan terpapar konten dari gawai tanpa pengawasan.
“Saya sendiri di kantor sering mendapati kasus anak SD hamil entah oleh teman, paman, atau orang terdekat,” ujar sosok ibu yang sehari-hari juga menjadi abdi negara di Dinas Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DKBPPPA) Kabupaten Serang itu.
“Itulah kenapa pendidikan ini harus diberikan lebih awal. Jangan berpikir anak-anak nanti akan tahu sendiri. Tantangan zaman sekarang berbeda”.
Baca juga: Kapan Pendidikan Seks pada Anak Bisa Diberikan?
Kenalkan consent
Hana bercerita, untuk mengenalkan konsep batas tubuh dan consent (persetujuan), Kakak Aman menggunakan lagu ciptaan sendiri, salah satunya berjudul “Bagian Pribadiku.”
Liriknya sederhana dan mudah diingat:
“Bagian pribadiku, tak boleh disentuh-sentuh,
Mulut, dada, perut, paha, kemaluan juga bokong.
Kalau ada yang mau sentuh, tidak!
Cepat lari, jangan ragu,
Aku anak berani, bisa lindungi diri.”
“Lewat lagu, anak-anak diharapkan lebih mudah memahami dan menghafalnya,” ungkap Hana.
Selain lagu, mereka juga memakai metode dongeng. Dalam cerita, dikisahkan ada tokoh yang awalnya baik, tetapi kemudian meminta menyentuh bagian pribadi anak.
Di situ, anak-anak diajak berpikir dan diajarkan langkah-langkah penting: berani bilang tidak, lari, dan lapor.
Menurut Hana, konsep consent juga bisa dilatih sejak dini dalam kehidupan sehari-hari, misalnya saat menentukan menu makan di rumah.
“Orang tua bisa biasakan anak berpendapat. Kalau anak terbiasa didengar, nanti dia akan lebih percaya diri ketika menghadapi situasi yang tidak nyaman,” jelasnya.
Baca juga: Darurat Pendidikan Seksual di Indonesia
Untuk orang tua yang masih ragu...
Saat ini, Kakak Aman memiliki dua modul edukasi yang biasa digunakan untuk kegiatan komunitas, yakni Modul Edkuasi Pencegahan Kekerasan Sekksual dan Modul Pendidikan Seksual Komprehensif.
Konten-kontennya dapat diakses melalui Instagram @kakaman.id. Di situ, pengunjung bisa menemukan tautan untuk mengunduh modul dan mengikuti sesi briefing agar memahami cara penggunaannya dengan benar.
“Kami juga punya kanal YouTube untuk lagu-lagu edukasi,” tambah Hana.
Meski modul khusus untuk orang tua belum tersedia, timnya yang terdiri dari relawan dan psikolog pendidikan sedang mengembangkannya.
Pesan Hana untuk para orang tua sederhana tapi kuat, yakni jadilah pendengar terbaik bagi anak.
“Anak itu butuh didengar, butuh teman bercerita. Orang tua seharusnya jadi tempat paling aman dan nyaman bagi mereka,” ujarnya.
Ia menyadari, memang ada kasus di mana orang tua justru menjadi pelaku.
“Tapi bagi orang tua yang mau belajar dan sayang pada anaknya, jadilah tempat bercerita yang nyaman. Biasakan anak untuk terbuka, karena kebiasaan itu bisa jadi pertahanan terbaik dari kekerasan seksual,” ucapnya.
Hana juga mengingatkan agar orang tua tidak tabu membicarakan bagian tubuh pribadi.
“Jangan ragu membicarakan bagian tubuh pribadi, karena jika bukan kita, orang lain dengan niat buruk bisa mengambil peran tersebut. Jangan takut untuk berkomunikasi secara terbuka dan positif dengan anak-anak. Selama kita melakukannya, InsyaAllah akan aman. Itulah yang paling dibutuhkan anak-anak hari ini,” ucapnya.
Baca juga: Amankah Melakukan Hubungan Seks Saat Menstruasi? Kenali Risikonya
Kini, Yayasan Kakak Aman telah disokong oleh 55 sukarelawan yang siap membantu menyebarkan edukasi perlindungan anak dari kekerasan.
Lebih dari 4.000 anak telah teredukasi untuk lebih memahami cara melindungi diri dari kekerasan dan situasi berbahaya.
Tak hanya itu, sebanyak 150 lebih guru dan orang tua sudah dirangkul untuk diberikan edukasi guna mendukung peran mereka sebagai pendamping utama anak. Sementara 50 guru telah mendapatkan pelatihan untuk menjadi fasilitator guru aman di sekolah.
Hana menyampaikan, meski berbasis di Serang, Kakak Aman sudah menjangkau 17 daerah di Indonesia dan berkomitmen memperluas pendidikan seksual anak ke lebih banyak wilayah.
“Saya percaya, ketika keluarga, sekolah, komunitas, masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta bergerak bersama, kekerasan seksual pada anak bisa kita cegah. Setiap langkah kecil dari kita berarti besar untuk masa depan mereka,” ucapnya.
Perjuangan Hana yang tak kenal lelah sebagai sahabat pelindung anak dari kekerasan seksual itu pun telah dilirik oleh juri dalam pemilihan penerima apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards tahun 2024.
Pada Oktober tahun lalu, ia terlipih menjadi penerima apresiasi SATU Indonesia Award untuk bidang Pendidikan.
Hana menjadikan apresiasi ini sebagai pendobrak semangat untuk bisa terus memberikan dampak baik bagi masyarakat, terutama anak-anak.
“Kami sadar perjuangan masih panjang. Apresiasi itu ‘menantang’ kami untuk bisa bergerak lebih kencang,” ucapnya.
Baca juga: Bahaya Oral Seks, Penyakit Apa Saja yang Bisa Tertular?
Menyulut terang dari Timur
Jauh dari Serang, semangat melindungi anak-anak dari kekerasan seksual juga diperjuangkan oleh Mariana Yunita Hendriyani Opat atau akrab disapa Tata.
Selama hampir satu dekade, ia aktif menjangkau anak-anak dan remaja di Nusa Tenggara Timur (NTT), terutama di Kota Kupang.
“Saya pernah mengalami pelecehan seksual saat kecil, dan saya tidak mau ada korban lagi!” ujar Tata tentang alasannya mendirikan Youth Community Tenggara pada 30 Agustus 2016.
Lewat komunitas ini, ia mengajak generasi muda NTT memahami hak kesehatan seksual dan reproduksi (kespro).
Bagi Tata, pendidikan seksual penting dibicarakan sejak dini agar anak memahami tubuhnya, menghormati diri dan orang lain, serta mampu mencegah kekerasan seksual, baik sebagai korban maupun pelaku.
Di banyak tempat, ia menemukan anak-anak yang tidak tahu apa itu pubertas, menstruasi, atau mimpi basah.
Bahkan ada remaja yang sudah melakukan aktivitas seksual seperti masturbasi atau petting (menggesekkan alat kelamin dengan pasangan) tanpa memahami risikonya.
“Pendidikan ini membantu anak memahami perubahan tubuh dan emosi dengan percaya diri, tanpa malu atau takut,” jelas Tata.
Menurutnya, anak yang paham seksualitas lebih waspada terhadap risiko kehamilan dini, infeksi menular seksual (IMS), HIV/AIDS, serta kekerasan seksual yang dapat mengancam masa depan mereka.
Tenggara sendiri pernah melakukan survei pada 2017 yang menemukan bahwa sebagian besar dari 500 remaja NTT tidak memiliki akses informasi soal pendidikan seksual. Hal ini sejalan dengan tingginya kasus pelecehan dan kehamilan remaja di daerah tersebut.
Data DP3AP2KB NTT mencatat 359 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 2024, meningkat dari tahun sebelumnya.
Sementara pada tahun ini, hingga Juni 2025, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sudah mencapai 281 kasus. Jika dirata-rata, ada lebih dari satu kasus setiap hari.
“Setiap anak muda berhak mengenali tubuhnya dan membuat keputusan reproduksi yang matang,” tegas Tata.
Baca juga: Benarkah Terlalu Sering Berhubungan Seks Bikin Vagina Longgar?
Bercerita untuk mengubah
Tata mantap mendirikan Tenggara setelah melihat belum ada komunitas yang dibentuk oleh anak muda dan untuk anak muda yang fokus pada isu kesehatan seksual dan reproduksi khususnya di Kota Kupang.
Ia awalnya hanya berharap Tenggara bisa menjadi ruang aman bagi anak muda untuk berbagi cerita pribadi, mulai dari pengalaman haid atau mimpi basah pertama hingga bertahan dari kekerasan seksual.
Tetapi dalam perjalanannya, Tata ingin Tenggara bisa lebih berdampak dengan mendidik anak-anak dan remaja tentang kesehatan seksual dan reproduksi, serta pencegahan kekerasan berbasis gender.
Pertimbangan utamanya, mereka prihatin dengan tingginya angka kekerasan terhadap anak di NTT. Dari situlah, Tenggara kemudian melahirkan Bacarita Kespro sebagai program andalan.
Dalam bahasa Melayu Kupang, Bacarita berarti bercerita. Sedangkan Kespro adalah singkatan kesehatan reproduksi. Dengan demikian, Bacarita Kespro adalah kegiatan bercerita tentang kesehatan reproduksi.
Sejauh ini, Tenggara telah mencoba rutin menggelar sesi Bacarita Kespro per pekan, baik tatap muka maupun daring.
Target utama mereka adalah anak muda berusia 10–24 tahun dari kelompok miskin, terpinggirkan, terisolasi secara sosial, dan tak terlayani (PMSEU). Itu termasuk anak putus sekolah, remaja yang dikeluarkan karena hamil di luar nikah, hingga anak-anak yang aktif di komunitas gereja atau desa terpencil.
Untuk menjangkau mereka, Tata dan relawan Tenggara rela menjelajah desa, menyeberangi laut, bahkan menggunakan dana pribadi.
Dalam berbagai pertemuan, mereka akan mengajak anak-anak berdiskusi santai tentang pubertas, hak dan tanggung jawab seksual, kekerasan dan pelecehan seksual, hingga keamanan digital.
Materinya dibawakan dengan cara menyenangkan, bisa menggunakan boneka anatomi, permainan ular tangga edukatif, dan kuis mitos-fakta.
Sebelum turun ke lapangan, Tenggara akan menyesuaikan materi dengan konteks sosial dan budaya setempat.
“Informasi kespro harus disampaikan dengan cara yang ramah dan relevan,” tutur Tata.
Baca juga: Ramai soal Ranjang Kardus Anti-Seks Atlet Olimpiade Paris 2024, Ini 3 Faktanya
Meluaskan dampak
Tata sangat bersyukur. Sejak awal berdiri, Tenggara tak pernah menghadapi kendala berarti saat berupaya mengenalkan isu kesehatan reproduksi kepada anak-anak dan remaja di berbagai wilayah NTT.
Bersama timnya, Tata bagaimanapun selalu memulai langkah dengan membangun kepercayaan.
Mereka menjelaskan tujuan kegiatan secara terbuka kepada orang tua dan tokoh masyarakat, bahkan mengajak mereka terlibat langsung dalam forum-forum edukasi.
Tenggara juga rutin mengadakan sesi khusus bagi para orang tua, agar mereka memahami pentingnya pendidikan seks dan tahu bagaimana menerapkannya di rumah.
“Orang tua adalah pendidik utama. Ketika komunikasi berjalan baik, anak akan lebih dekat dan terbuka. Kalau ada masalah, mereka akan datang ke orang tuanya dulu,” ujar Tata.
Dalam menjangkau desa-desa, Tenggara kerap bekerja sama dengan tokoh agama sebagai gerbang masuk ke masyarakat.
“Kami jelaskan misi kami dan pentingnya isu ini. Setelah itu, biasanya pendeta justru yang mengajak anak-anak dan orang tua untuk ikut. Dari situ, kepercayaan masyarakat mulai tumbuh,” jelasnya.
Salah satu tokoh agama yang menjadi mitra mereka adalah Pendeta Seprianus Y. Adonis dari Timor Tengah Selatan. Ia mengakui bahwa kolaborasi bersama Tenggara membawa perubahan besar di wilayahnya. Disebutkan, anak-anak jadi tahu siapa mereka dan bagaimana melindungi diri sendiri.
Kini, Tenggara telah menjangkau lebih dari 4.000 anak dan 30 komunitas terpencil di berbagai wilayah NTT.
Beberapa komunitas di antaranya adalah Komunitas Tuli Kupang, PAR Benyamin Oebufu Kupang, Persatuan Tuna Daksa, Kristiani Rumah Sejuta Mimpi, remaja gereja di Neke, hingga komunitas Dusun Flobamora.
Baca juga: 5 Negara Asia yang Dilanda Resesi Seks, Terbaru Thailand
Jangkauan mereka tak terbatas di Kota Kupang, tetapi meluas hingga Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, bahkan ke Pulau Kera di Kabupaten Sumba Timur bersama lembaga Kopernik.
Kepercayaan masyarakat pun tumbuh. Ketika Tenggara dinilai membawa dampak nyata bagi pendidikan kesehatan reproduksi di NTT, sejumlah sekolah dan gereja mulai meminta sendiri untuk diadakan lokakarya tentang kesehatan seksual.
“Kami butuh dua tahun sampai akhirnya masyarakat yang meminta kami datang. Itu perubahan terbesar,” ujar Tata.
Selain program Bacarita Kespro, Tenggara telah mengembangkan berbagai inisiatif lain seperti Kespro Camp, Teman Bacarita, dan #BlindDate, serta aktif membagikan edukasi melalui media sosial.
Dampak positifnya terasa langsung di lapangan. Di salah satu desa misalnya, sebanyak 22 remaja laki-laki yang sebelumnya menjalani praktik sunat tradisional tidak aman akhirnya memilih ikut sunat medis massal setelah mendapatkan edukasi dari Tenggara.
“Itulah perubahan yang kami harapkan. Ketika anak-anak mendapat informasi, mereka bisa melindungi diri sendiri dan orang lain,” tutur Tata.
Atas dedikasi dan konsistensinya dalam mengedukasi hak kesehatan seksual anak, Tata juga pernah diganjar apresiasi SATU Indonesia Awards dari Astra, seperti Hana. Ia menerimanya pada 2020 untuk kategori Kesehatan.
Bagi Tata, penghargaan itu bukan sekadar pencapaian, tetapi pengingat untuk terus bergerak dan memberi makna bagi orang lain. Ia berharap, apresiasi tersebut juga bisa menjadi inspirasi bagi anak muda lain untuk berbuat bagi masyarakat, apa pun isu yang mereka perjuangkan.
“Semua perasaan teman-teman terhadap suatu isu itu valid. Jangan pernah berpikir isu kalian tidak penting. Semua isu pasti berarti. Yang paling penting adalah konsistensi dan komitmen. Kalau suatu saat capek atau menemukan tantangan, coba ingat lagi alasan awal kalian memulai,” pesannya.
Baca juga: Atasi Resesi Seks, Korsel Bayar Pembekuan Sel Telur dan Gelar Kencan Massal
Ia berpesan pula kepada para inisiator muda agar menanamkan nilai dan rasa kepemilikan terhadap komunitas kepada setiap anggota baru.
“Supaya semangat dan kepedulian itu tidak hanya datang dari kamu, tapi juga dari teman-teman yang bergabung sebagai anggota atau relawan,” tuturnya.
Ke depan, Tata bercita-cita melatih pendidik sebaya di desa-desa agar bisa melanjutkan misi Tenggara di wilayah masing-masing, serta mendorong integrasi pendidikan seks dan reproduksi dalam kurikulum sekolah.
“Pendidikan seksual adalah hal yang perlu dimulai di rumah dan diperkuat di sekolah. Terlalu banyak anak muda tumbuh tanpa pengetahuan yang mereka butuhkan untuk melindungi diri,” ujarnya.
Kini, selain edukasi, Tenggara juga membuka layanan aduan bagi korban kekerasan seksual dan bekerja sama dengan LBH untuk pendampingan hukum. “Anak-anak perlu tahu bahwa mereka tidak sendiri,” tuturnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang