KOMPAS.com - Kasus pelecehan seksual yang melibatkan tokoh agama belakangan kian sering mencuat ke publik.
Fenomena ini menimbulkan keprihatinan karena pelaku berasal dari figur yang seharusnya menjadi panutan moral dan spiritual masyarakat.
Beberapa di antaranya ialah kasus pencabulan oleh pendeta di Blitar dan pelecehan verbal oleh ustaz di Kulon Progo.
Pada kasus di Blitar, diketahui bahwa oknum pendeta berinisial DKBH (69) melakukan pelecehan terhadap empat putri sopirnya yang berinisial T, yaitu FTP (17), GTP (15), TTP (13), dan NTP (7).
Dilansir dari Kompas.com, Sabtu (5/7/2025), kasus tersebut dibongkar oleh anak sulung FTP yang memutuskan kabur bersama temannya ke Kediri bersama rekannya dan menceritakan apa yang dialami saat disusul ayahnya.
Ketika ditemui, DKBH membela diri dengan mengatakan bahwa dirinya khilaf dan melakukannya sebagai bentuk kasih sayang terhadap anak piatu.
Selanjutnya, DKBH juga mengancam dan menghalangi proses hukum yang diajukan oleh T.
Sementara itu, kasus di Blitar dilaporkan oleh pemuda berinisial H (18) yang mendapat pesan WhatsApp berunsur pornografi dari ustaz berinisial R.
Dilansir dari Kompas.com, Selasa (8/7/2025), R merupakan ustaz sekaligus pengasuh pondok pesantren dan panti asuhan di Wilayah Galur, Ponorogo yang terkenal di kalangan masyarakat.
Berkaca dari kasus tersebut, mengapa tokoh agama bisa menjadi pelaku pelecehan seksual?
Baca juga: 4 Kasus Pelecehan Seksual oleh Dokter selama Sepekan
Direktur Rifka Annisa Women Crisis Center (WCC), Indiah Wahyu Andari, mengungkapkan bahwa ada dua faktor utama yang membuat pelecehan seksual oleh tokoh agama dapat terjadi dan bahkan terus berulang, yakni penyalahgunaan kekuasaan dan budaya mengkultuskan tokoh agama.
Menurut Indiah, tokoh agama umumnya memiliki pengaruh dan kekuasaan yang besar dalam komunitasnya.
Sayangnya, kekuasaan tersebut tidak jarang dimanfaatkan untuk tujuan yang menyimpang, termasuk melakukan pelecehan seksual.
"Tokoh agama mendapatkan kekuasaan yang sangat luas, dan itu bisa memunculkan godaan untuk menyalahgunakannya," ujar Indiah saat dihubungi Kompas.com, Selasa (8/7/2025).
Kondisi ini diperparah jika tidak ada mekanisme pengawasan yang tegas dan transparan terhadap para pemuka agama.