BANDUNG, KOMPAS.com – Aroma kopi dan roti panggang menyambut pagi di Jalan Braga, Kota Bandung. Udara dingin menyapu wajah para pengunjung yang berjalan perlahan di trotoar lebar di antara bangunan tua bergaya kolonial.
Sebagian wisatawan memilih duduk di teras kafe sembari mengecap suasana tempo dulu, yang masih terasa di setiap sudut. Di pojok jalan, suara saksofon melengkapi lukisan-lukisan yang dipajang pelukis jalanan. Bagi sebagian orang, Braga bukan sekadar jalan, tetapi perjalanan waktu yang tak pernah selesai.
Rina Raniati (28), pengunjung asal Jakarta, mengatakan kedatangannya ke Braga bukan sekadar rekreasi. “Rasanya lega saja lihat Braga. Orang-orang duduk santai, dengar musik, ada aroma kopi juga. Susah dapetin suasana hangat kaya gini,” katanya, Jumat (15/8/2025).
Pertama kali menapaki Braga, Rina merasa seperti dibawa kembali ke masa lalu. Bangunan bercat pastel dan deretan etalase toko mengingatkannya pada gambar-gambar dalam kartu pos lama.
Baca juga: Dari Packard ke Braga City Walk, Jejak Kemewahan yang Hilang Seabad Lalu...
“Saya mampir ke kafe kecil, duduk di teras sambil lihat orang lewat. Rasanya tenang sekali, berbeda dengan rutinitas di Jakarta yang serba cepat,” ujarnya.
Pandangan serupa disampaikan Rudi Hidayat (35), warga Kabupaten Bogor. Baginya, kenangan terindah justru tercipta saat berdialog langsung dengan pelukis yang berjajar di trotoar.
“Saya sempat diajak lihat proses melukis, pesan satu lukisan juga. Ditawari untuk ikutan mencoba, rasanya asyik sekali,” kata Rudi.
Namun ada juga yang menyimpan kenangan pahit di tempat ini. Seperti dialami Rani Aprilia (20), mahasiswa asal Bandung. Ia mengenang kunjungannya ke Braga tahun lalu sebagai momen yang tak ingin diulang.
“Awalnya senang, karena Braga itu kan cantik. Tapi tiba-tiba pacar saya bilang sudah enggak cocok. Di tengah orang ramai, saya cuma bisa nangis,” kenangnya.
Baca juga: Jalan Braga Tak Pernah Sepi Warna, Begini Kisah Penjaganya...
Pengalaman kurang menyenangkan juga dialami Agus (31), warga Cimahi. Saat hendak memotret mural-mural malam hari pada 2023, ia kehilangan dompetnya. “Semua kartu dan uang hilang. Sejak itu, saya agak waswas setiap dengar kata ‘Braga’,” ujarnya.
Bagi banyak orang, Jalan Braga menjadi panggung terbuka yang merekam beragam rasa. Ada yang pulang membawa foto-foto indah, ada yang menyimpan luka kecil, tetapi semuanya menyisakan jejak.
Saat senja tiba, lampu-lampu jalan mulai menyala, cahaya kuningnya memantul di permukaan trotoar. Di bawah langit merah, pengunjung kembali berjalan pelan—seolah tak ingin buru-buru meninggalkan cerita yang mungkin akan mereka kenang bertahun-tahun kemudian.
Baca juga: Empat Dekade Resep Keluarga, Lakker Hadirkan Nostalgia Kue Jadul di Jalan Braga
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini