Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Dewasa Tak Selalu Kuat: Menyelami Buku Setumpuk Surel untuk Setitik Orang Dewasa

Kompas.com - 21/10/2025, 16:00 WIB
Buku Setumpuk Surel untuk Setitik Orang Dewasa Sumber Gambar: Dok. Elex Media Komputindo Buku Setumpuk Surel untuk Setitik Orang Dewasa
Rujukan artikel ini:
Setumpuk Surel untuk Setitik Orang…
Pengarang: Avia Maulidina
|
Editor Novia Putri Anindhita

Ada masa ketika kita tumbuh dengan percaya bahwa menjadi dewasa berarti kuat, tenang, dan tahu segalanya.

Kita membayangkan hidup akan stabil ketika usia menginjak dua puluhan: pekerjaan yang mapan, rumah yang nyaman, hubungan yang bahagia.

Namun, kemudian kenyataan datang seperti hujan yang tiba-tiba deras di tengah jalan pulang—kita kebasahan, kebingungan, dan baru sadar bahwa menjadi dewasa ternyata tidak pernah sesederhana itu.

Di tengah rutinitas yang melelahkan, tekanan hidup, dan rasa canggung yang tak kunjung hilang, kita hanya ingin didengar tanpa perlu berpura-pura baik-baik saja.

Di sinilah buku Setumpuk Surel untuk Setitik Orang Dewasa karya Avia Maulidina hadir—sebuah pelukan dalam bentuk tulisan, sehelai benang halus yang menghubungkan kita dengan sesama manusia yang juga sedang belajar menjadi dewasa tanpa kehilangan diri sendiri.

Avia Maulidina menulis dengan gaya yang sederhana tapi memikat, seolah setiap kata adalah napas dari seseorang yang ingin berbagi perasaan yang tak bisa disampaikan secara langsung.

Isi Buku Setumpuk Surel untuk Setitik Orang Dewasa

Buku ini berisi 139 surel—atau surat elektronik—yang dikirimkan kepada berbagai sosok: kepada diri sendiri, kepada masa lalu, kepada teman yang jauh, bahkan kepada “orang asing” yang mungkin tidak pernah dikenal tapi dirasa akrab karena memiliki luka yang sama.

Masing-masing surel berdiri sendiri, namun ketika dibaca berurutan, mereka saling terhubung membentuk jalinan perasaan yang utuh tentang perjalanan menjadi manusia dewasa di masa kini.

Membuka setiap halaman buku ini terasa seperti membuka kotak masuk di email pribadi seseorang.

Di sana, tidak ada pesan profesional atau urusan pekerjaan, melainkan pesan-pesan kecil penuh emosi: pengakuan jujur, rasa takut, kebingungan, kehilangan, harapan, dan cinta yang sederhana.

Avia tidak menulis untuk memberi petuah atau motivasi; ia menulis untuk menemani, untuk berkata bahwa semua kegelisahan yang kita rasakan juga pernah dirasakan oleh orang lain.

Ia menulis bukan dari menara gading, melainkan dari tempat yang sama dengan kita—di tengah kelelahan, di antara tuntutan hidup, di sela-sela keheningan malam yang sering terasa terlalu sunyi.

Kejujuran adalah kekuatan utama buku ini.

Setiap kalimat seolah lahir dari ruang hati yang polos, tanpa upaya untuk menutupi kekurangan.

Ada bagian-bagian Avia mengakui rasa lelahnya karena selalu mencoba menjadi kuat, bagian lain ia menulis tentang kehilangan arah, tentang persahabatan yang pudar, tentang cinta yang tak sempat tumbuh, atau tentang kerinduan akan rumah yang tidak lagi sama.

Dalam setiap pengakuan itu, ia tidak pernah berusaha menampilkan diri sebagai sosok yang sudah selesai dengan hidup, melainkan seseorang yang masih terus belajar.

Dan justru di situlah letak keindahannya—ia menulis bukan dari ketinggian, tetapi dari kesetaraan.

Bahasa yang digunakan Avia mengalir lembut, ringan, dan mudah dicerna.

Ia tidak bersembunyi di balik metafora yang rumit, melainkan berbicara dengan jujur seolah sedang menulis kepada seorang teman lama.

Kalimat-kalimatnya sering pendek, tapi meninggalkan gema panjang dalam hati pembaca.

Misalnya ketika ia menulis, “Kita tidak harus tahu ke mana hidup akan membawa, tapi kita bisa memilih untuk tetap berjalan.”

Kalimat sederhana seperti itu mungkin sering kita dengar, tetapi di tangan Avia, ia berubah menjadi pengingat yang menenangkan—bahwa ketidaktahuan pun bisa diterima sebagai bagian dari hidup.

Yang membuat buku Setumpuk Surel untuk Setitik Orang Dewasa terasa begitu relevan adalah cara Avia menangkap kegelisahan generasi muda masa kini.

Ia menulis tentang tekanan sosial untuk sukses di usia muda, tentang rasa bersalah ketika belum mencapai apa yang orang lain capai, tentang betapa menyesakkan hidup di era perbandingan konstan.

Namun, alih-alih menyalahkan keadaan, ia mengajak pembaca untuk berdamai.

Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium

Bahwa mungkin menjadi dewasa bukan berarti selalu tahu apa yang harus dilakukan, melainkan berani mengakui bahwa kita kadang tidak tahu, tapi tetap mencoba.

Beberapa surel di dalam buku ini juga berbicara tentang hubungan—baik dengan orang lain maupun dengan diri sendiri.

Ada surel yang terasa seperti surat cinta yang tak pernah terkirim, ada yang seperti surat permintaan maaf untuk masa lalu yang belum selesai, dan ada pula yang terasa seperti doa lembut untuk masa depan yang belum datang.

Dalam surat-surat itu, Avia tidak menawarkan jawaban, tetapi menghadirkan ruang bagi pembaca untuk merenung.

Ia tidak berkata “begini cara menyembuhkan diri,” tetapi menulis, “mungkin kita tidak perlu terburu-buru sembuh; mungkin kita hanya perlu berhenti menyalahkan diri.”

Buku ini juga menarik karena struktur dan ritmenya terasa natural.

Tidak ada alur cerita konvensional, tetapi setiap surel seolah membentuk perjalanan emosional yang utuh.

Dari halaman pertama hingga terakhir, kita seakan diajak melintasi berbagai tahap: kebingungan, kesedihan, penerimaan, dan akhirnya—kebersyukuran yang tenang.

Pembaca akan menemukan diri mereka di tengah-tengah perjalanan itu, di titik ketika mereka juga sedang bertanya: apakah aku sudah cukup dewasa? Apakah aku sudah cukup baik untuk diriku sendiri?

Meski sebagian besar isi buku berupa renungan pribadi, kekuatan universalnya justru muncul dari keintiman itu.

Avia menulis dengan suara yang lembut namun kuat—seolah berbicara langsung pada hati pembacanya.

Ia tidak pernah menggurui, tetapi tulisannya mampu menenangkan.

Membacanya seperti duduk bersama seseorang yang tahu bagaimana rasanya patah, tahu bagaimana rasanya kehilangan, tapi tetap memilih untuk percaya bahwa hidup masih pantas dijalani.

Jika ada hal yang mungkin menjadi catatan, itu adalah bahwa tidak semua surel memiliki akhir yang jelas.

Beberapa berhenti tiba-tiba, seperti percakapan yang diputus di tengah jalan.

Namun, mungkin justru di situ letak kejujuran hidup: tidak semua hal memiliki penutup rapi.

Beberapa luka memang tidak sembuh, beberapa pertanyaan tidak terjawab.

Buku ini dengan berani membiarkan hal itu apa adanya.

Pada akhirnya, buku Setumpuk Surel untuk Setitik Orang Dewasa adalah sebuah pengalaman membaca yang intim.

Bukan buku motivasi yang berusaha memperbaiki hidup kita, bukan pula novel yang menuntut klimaks emosional, melainkan teman sunyi di tengah hiruk-pikuk dunia.

Buku ini mengingatkan kita bahwa menjadi dewasa bukanlah tentang seberapa cepat kita berhasil, tapi seberapa tulus kita mau memahami diri sendiri.

Di tengah segala tuntutan hidup modern yang sering membuat kita merasa tersesat, tulisan-tulisan Avia terasa seperti cahaya kecil yang menuntun kita pulang ke dalam diri—pelan, lembut, tapi pasti.

Membacanya, kita akan menemukan ketenangan yang jarang muncul dari kata-kata orang lain: ketenangan karena tahu bahwa ternyata tidak apa-apa untuk tidak selalu kuat, tidak apa-apa untuk merasa lelah, dan tidak apa-apa untuk belum sepenuhnya tahu arah hidup.

Karena pada akhirnya, setiap dari kita hanyalah setitik manusia yang sedang belajar menjadi dewasa—dengan cara yang paling manusiawi.

Buku Setumpuk Surel untuk Setitik Orang Dewasa bisa kamu dapatkan di Gramedia.com dan Gramedia Digital.

Rekomendasi Buku Terkait

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau