KOMPAS.com – Belasan siswa di Jember diduga mengalami keracunan setelah menyantap makanan dari Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Kasus ini memunculkan kekhawatiran, mengingat kejadian serupa juga dilaporkan di sejumlah daerah.
Ahli pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (Unej), Dr. Nurhayati, menilai perlu penelusuran menyeluruh untuk mengetahui titik kritis penyebab keracunan pangan siap saji di sekolah.
“Saya prihatin dengan maraknya kasus keracunan akibat pangan siap saji yang dialami pelajar dalam Program MBG di sejumlah daerah, termasuk di Kabupaten Jember,” katanya dikutip dari Antara, Senin (29/9/2025).
Baca juga: Hampir 7 Juta Warga Sudah Terima Program Makan Bergizi Gratis, Ini Capaian Terbaru BGN
Menurut Nurhayati, penyebab keracunan pangan siap saji bisa beragam, mulai dari paparan bahan kimia, mikroba patogen, hingga proses pengolahan yang kurang tepat.
“Pangan segar yang diolah tanpa melalui proses pencucian yang baik memungkinkan terjadinya kontaminasi bahan kimia maupun kontaminasi mikroba. Begitu pula proses memasak yang kurang cukup panas maka berpotensi tumbuhnya mikroba perusak maupun patogen,” tuturnya.
Ia menambahkan, penyimpanan makanan pada suhu ruang 5–60 derajat Celcius termasuk zona bahaya karena mikroba berkembang pada suhu tersebut.
“Dalam artian kurang pendinginan untuk makanan dingin, atau kurang penghangatan untuk makanan panas,” kata Nurhayati.
Selain itu, penyajian makanan di ruang terbuka terlalu lama dapat memicu kontaminasi dari debu, serangga, maupun sentuhan tangan.
“Peralatan saji seperti stainless steel lebih mudah menghantarkan panas untuk mendukung pertumbuhan mikroba kontaminasi yang ada,” ujarnya.
Baca juga: Pakar IPB: Keamanan Pangan Kunci Sukses Program Makan Bergizi Gratis
Dalam penjelasannya, Nurhayati menyebut sejumlah mikroba patogen yang berisiko menyebabkan keracunan, seperti Salmonella spp., E. coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, hingga Listeria monocytogenes.
Dua bakteri yang paling sering dikaitkan dengan kasus keracunan makanan adalah Salmonella dan Escherichia coli (E. coli).
Salmonella adalah bakteri yang sering ditemukan pada daging, telur, dan produk susu yang tidak matang sempurna.
Infeksi Salmonella dapat menimbulkan diare, demam, sakit perut, hingga muntah.
Mengutip dari World Health Organization, E. coli sebagian besar hidup normal di usus manusia, tetapi beberapa strain berbahaya seperti E. coli O157:H7 bisa memicu diare berat, kram perut, bahkan komplikasi serius pada ginjal.
Kontaminasi biasanya berasal dari sayuran mentah, daging setengah matang, atau air minum yang tercemar.
Baca juga: Target 20 Juta Penerima Makan Bergizi Gratis Dikejar, Anggaran Sudah Rp 8,2 Triliun
Nurhayati menekankan bahwa kebersihan penyaji makanan, mulai dari mencuci tangan, menggunakan sarung tangan, hingga memakai penutup kepala, harus diperhatikan untuk mencegah kontaminasi silang.
“Konsumen yang mengonsumsi makanan secara bersama-sama sebenarnya bisa menjadi kurang terkontrol higienitasnya, sehingga dapat meningkatkan risiko penyebaran penyakit,” ungkapnya.
Ia berharap semua pihak yang terlibat dalam penyiapan makanan MBG lebih mewaspadai titik kritis penyajian, yakni kebersihan bahan, proses masak, penyimpanan, dan penyajian.
“Adanya kelalaian pada salah satu titik kritis maka akan berisiko keracunan makanan dan memungkinkan pula penyakit bawaan pangan meningkat seperti tipus dan diare,” ucap Nurhayati.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang