KOMPAS.com - Peneliti dari Charles Darwin University (CDU) mengungkapkan, mengganti laporan lingkungan yang bernuansa suram dengan cerita yang lebih penuh harapan dan berfokus pada solusi, bisa menjadi kunci untuk mengatasi krisis iklim.
Dua dosen dari Charles Darwin University (CDU), yaitu Dr. Awni Etaywe (Dosen Linguistik) dan Dr. Jennifer Pinkerton (Dosen Media dan Jurnalisme), telah menemukan gaya pemberitaan yang mendorong orang untuk bertindak.
Gaya ini berfokus pada kepedulian, nilai-nilai bersama, dan kemungkinan solusi saat membingkai tantangan lingkungan.
Para peneliti menyebut gaya ini sebagai "Jurnalisme Lingkungan Positif" (Positive Environmental Journalism atau PEJ).
Melansir Phys, Senin (25/8/2025), studi menunjukkan bahwa ketika berita tentang lingkungan lebih menekankan pada kemungkinan solusi daripada bencana, hal itu dapat meningkatkan keterlibatan publik terhadap isu-isu iklim dan keanekaragaman hayati.
Baca juga: WHO: Panas Ekstrem akibat Perubahan Iklim Bikin Pekerja Stres
Ini kemudian mendorong para pembaca untuk melihat diri mereka sebagai bagian dari solusi.
Dr. Etaywe mengatakan bahwa Jurnalisme Lingkungan Positif menawarkan alternatif yang lebih konstruktif dibandingkan dengan gaya pemberitaan yang cenderung "mengkhawatirkan", yang sering ditemukan dalam jurnalisme lingkungan pada umumnya.
"Jika orang-orang terus-menerus diberi tahu bahwa situasinya tidak ada harapan, mereka akan menarik diri," kata Dr. Etaywe.
"Namun ketika kita berfokus pada solusi, nilai-nilai bersama, dan tindakan nyata, kita membuka pintu menuju perubahan perilaku yang langgeng," paparnya lagi.
Dalam studinya, penelitian ini menganalisis 30 artikel berita digital dari berbagai media, termasuk ABC News Online, Guardian Australia, dan News.com.au.
Studi ini menemukan bahwa cerita yang paling menarik menggunakan bahasa yang membentuk ikatan eko-budaya (ikatan yang menghubungkan identitas dan tindakan seseorang dengan alam) alih-alih mengandalkan rasa takut.
Dr. Etaywe menyatakan bahwa temuan ini membuktikan perlunya pergeseran narasi yang disengaja dalam cara media menyajikan laporan tentang iklim dan lingkungan.
"PEJ menumbuhkan harapan, kewajiban moral, dan tindakan pro-lingkungan. Ini tentang membangun solidaritas, bukan rasa takut, dalam menghadapi krisis lingkungan kita," katanya.
Baca juga: Ancaman Perubahan Iklim, Hutan Paling Beragam di Dunia Tak Mampu Adaptasi
Lebih lanjut, Dr. Pinkerton mengatakan bahwa Jurnalisme Lingkungan Positif juga dapat membantu pembaca untuk terlibat lebih baik dengan jurnalisme lingkungan dan merasa diberdayakan untuk bertindak demi alam.
"Audiens merespons ketika mereka merasa dihargai, terinformasi, dan menjadi bagian dari cerita. PEJ mengundang mereka ke dalam percakapan sebagai peserta aktif, bukan sekadar pengamat pasif," terangnya.
Dr. Etaywe menambahkan dengan membingkai ulang pelaporan iklim dan keanekaragaman hayati, kita bisa menggeser narasi dari keputusasaan menjadi pemberdayaan.
"Jika kita ingin audiens bertindak, kita perlu menceritakan kisah-kisah yang menunjukkan bahwa perubahan itu mungkin," katanya.
Makalah berjudul Building bonds and reader engagement through positive environmental journalism in Australia ini menerima penghargaan makalah terbaik pada Konferensi Komunikasi dan Lingkungan dua tahunan yang diselenggarakan oleh Asosiasi Komunikasi Lingkungan Internasional (COCE 2025).
Baca juga: Krisis Iklim Tingkatkan Kasus Kecelakaan di Laut dan Perburuk Kehidupan Nelayan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya