Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Guru Besar IPB: Revisi PP 24/2021 Harus Dijalankan dengan Hati-hati

Kompas.com - 17/09/2025, 11:32 WIB
Bambang P. Jatmiko

Editor

Sumber Antara

JAKARTA, KOMPAS.com - Implementasi dari revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang sanksi administrasi pelanggaran kawasan hutan yang baru saja diteken Presiden Prabowo Subianto harus dilakukan dengan hati-hati.

Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Sudarsono Soedomo menilai langkah pemerintah melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) untuk menagih denda kepada pelaku usaha perkebunan sawit ilegal berpotensi menimbulkan masalah baru.

Menurutnya, persoalan utama bukan semata pada kebun sawit yang dituding ilegal, melainkan pada status kawasan hutan itu sendiri.

Baca juga: Studi: Hutan Tropis Terbelah-belah, Biodiversitas Semakin Terancam

“Faktanya, sebagian besar kawasan yang diklaim sebagai kawasan hutan baru sebatas penunjukan, belum melalui empat tahap sesuai pasal 15, yaitu penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan,” katanya.

Sebelumnya, Ketua Pelaksana Satgas PKH Febrie Adriansyah mengatakan, pengusaha sawit dan tambang ilegal tetap harus membayar denda administratif, meski lahannya telah disita negara.

Dalam delapan bulan terakhir, Satgas PKH telah menertibkan sedikitnya 3.325.133,2 hektare lahan yang dikuasai secara ilegal.

Berdasarkan revisi PP 24/2021 pada 10 September 2025 ini, Satgas PKH akan menghitung dan menagih denda kepada korporasi yang menggunakan kawasan hutan menjadi lahan sawit atau tambang ilegal.

Lebih jauh, kata Sudarsono, banyak lahan yang diklaim sebagai kawasan hutan sebenarnya telah lebih dulu dimanfaatkan masyarakat, baik untuk kebun karet, kopi, cokelat, sawit, maupun pemukiman yang sudah ada bahkan sebelum Indonesia merdeka.

“Yang ilegal itu dalam banyak kasus adalah justru kawasan hutannya. Fakta ini yang diabaikan, bahkan menjadi rujukan,” ujarnya.

Sudarsono menilai, revisi PP ini tidak serta-merta memperbaiki iklim investasi. Selama definisi kawasan hutan masih keliru, kepastian hukum bagi investor tetap kabur.

“Kehutanan menguasai dua pertiga tanah Indonesia, tapi kontribusinya ke PDB kurang dari satu persen. Klaim kawasan hutan yang keliru justru menghambat pembangunan di luar Jawa, dan ini membuat investasi tidak menarik,” kata Sudarsono.

Dalam jangka panjang, langkah Satgas PKH tersebut ia nilai tidak akan efektif karena tidak menjawab persoalan pokoknya, yakni illegalitas sebagian besar kawasan hutan karena pembentukannya tidak sesuai dengan Pasal 15 UU 41/1999.

Baca juga: 2025, Kemenhut Targetkan 100 Ribu Hektare Hutan Adat Resmi Diakui

Akibatnya adalah timbul ketidakpastian pemilikan atau penguasaan tanah, sehingga menghambat investasi jangka panjang.

Selain itu, Sudarsono juga mengingatkan risiko besar konflik hukum. Bukan hanya korporasi yang merasa dirugikan, tetapi juga masyarakat kecil yang lahannya terperangkap dalam klaim kawasan hutan.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Incar Ekonomi Tumbuh 8 Persen, RI Perlu Andalkan Peternakan dan Perikanan
Incar Ekonomi Tumbuh 8 Persen, RI Perlu Andalkan Peternakan dan Perikanan
Pemerintah
Perubahan Iklim Bisa Ganggu Kualitas Tidur, Kok Bisa?
Perubahan Iklim Bisa Ganggu Kualitas Tidur, Kok Bisa?
Pemerintah
Koalisi Manajer Aset Net Zero Kembali, Tapi Tanpa Komitmen Iklim 2050
Koalisi Manajer Aset Net Zero Kembali, Tapi Tanpa Komitmen Iklim 2050
Pemerintah
7.500 Peserta Ikuti PLN Electric Run 2025, Ajang Lari Nol Emisi Pertama di Indonesia
7.500 Peserta Ikuti PLN Electric Run 2025, Ajang Lari Nol Emisi Pertama di Indonesia
BUMN
Jangkar Kapal Merusak Terumbu Karang di TN Komodo, Potret Gagalnya Tata Kelola Pariwisata
Jangkar Kapal Merusak Terumbu Karang di TN Komodo, Potret Gagalnya Tata Kelola Pariwisata
LSM/Figur
Studi Ungkap Emisi Penerbangan Nyata Bisa Tiga Kali Lipat Lebih Tinggi dari Kalkulator Karbon
Studi Ungkap Emisi Penerbangan Nyata Bisa Tiga Kali Lipat Lebih Tinggi dari Kalkulator Karbon
Pemerintah
Sektor Pertanian Harus Tumbuh 4,7 Persen Per Tahun Jika Pertumbuhan PDB RI Ingin Capai 8 Persen
Sektor Pertanian Harus Tumbuh 4,7 Persen Per Tahun Jika Pertumbuhan PDB RI Ingin Capai 8 Persen
LSM/Figur
Kemenaker: 104 Kecelakaan Kerja Terjadi di 'Smelter' Nikel, SOP hingga K3 Masih Diabaikan
Kemenaker: 104 Kecelakaan Kerja Terjadi di "Smelter" Nikel, SOP hingga K3 Masih Diabaikan
Pemerintah
Emisi Tak Terlihat dari Colokan Listrik
Emisi Tak Terlihat dari Colokan Listrik
Pemerintah
Pertamina dan KLHK Tanam Ratusan Pohon Produktif di Hulu DAS di Bogor
Pertamina dan KLHK Tanam Ratusan Pohon Produktif di Hulu DAS di Bogor
BUMN
Tropenbos Indonesia: Restorasi Gambut Swakelola di Tingkat Tapak Butuh Pendampingan
Tropenbos Indonesia: Restorasi Gambut Swakelola di Tingkat Tapak Butuh Pendampingan
LSM/Figur
KLH Targetkan Dekontaminasi Cikande Selesai Akhir November
KLH Targetkan Dekontaminasi Cikande Selesai Akhir November
Pemerintah
Puncak Musim Hujan, BMKG Gelar Operasi Modifikasi Cuaca untuk Cegah Banjir
Puncak Musim Hujan, BMKG Gelar Operasi Modifikasi Cuaca untuk Cegah Banjir
Pemerintah
Menteri LH: Cengkih Terpapar Radioaktif Asal Lampung Tertangani
Menteri LH: Cengkih Terpapar Radioaktif Asal Lampung Tertangani
Pemerintah
Menyelamatkan Lahan Kritis Indonesia dari Desa: Pelajaran Ekologi dari Perlang
Menyelamatkan Lahan Kritis Indonesia dari Desa: Pelajaran Ekologi dari Perlang
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau