JAKARTA, KOMPAS.com - Implementasi dari revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang sanksi administrasi pelanggaran kawasan hutan yang baru saja diteken Presiden Prabowo Subianto harus dilakukan dengan hati-hati.
Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Sudarsono Soedomo menilai langkah pemerintah melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) untuk menagih denda kepada pelaku usaha perkebunan sawit ilegal berpotensi menimbulkan masalah baru.
Menurutnya, persoalan utama bukan semata pada kebun sawit yang dituding ilegal, melainkan pada status kawasan hutan itu sendiri.
Baca juga: Studi: Hutan Tropis Terbelah-belah, Biodiversitas Semakin Terancam
“Faktanya, sebagian besar kawasan yang diklaim sebagai kawasan hutan baru sebatas penunjukan, belum melalui empat tahap sesuai pasal 15, yaitu penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Pelaksana Satgas PKH Febrie Adriansyah mengatakan, pengusaha sawit dan tambang ilegal tetap harus membayar denda administratif, meski lahannya telah disita negara.
Dalam delapan bulan terakhir, Satgas PKH telah menertibkan sedikitnya 3.325.133,2 hektare lahan yang dikuasai secara ilegal.
Berdasarkan revisi PP 24/2021 pada 10 September 2025 ini, Satgas PKH akan menghitung dan menagih denda kepada korporasi yang menggunakan kawasan hutan menjadi lahan sawit atau tambang ilegal.
Lebih jauh, kata Sudarsono, banyak lahan yang diklaim sebagai kawasan hutan sebenarnya telah lebih dulu dimanfaatkan masyarakat, baik untuk kebun karet, kopi, cokelat, sawit, maupun pemukiman yang sudah ada bahkan sebelum Indonesia merdeka.
“Yang ilegal itu dalam banyak kasus adalah justru kawasan hutannya. Fakta ini yang diabaikan, bahkan menjadi rujukan,” ujarnya.
Sudarsono menilai, revisi PP ini tidak serta-merta memperbaiki iklim investasi. Selama definisi kawasan hutan masih keliru, kepastian hukum bagi investor tetap kabur.
“Kehutanan menguasai dua pertiga tanah Indonesia, tapi kontribusinya ke PDB kurang dari satu persen. Klaim kawasan hutan yang keliru justru menghambat pembangunan di luar Jawa, dan ini membuat investasi tidak menarik,” kata Sudarsono.
Dalam jangka panjang, langkah Satgas PKH tersebut ia nilai tidak akan efektif karena tidak menjawab persoalan pokoknya, yakni illegalitas sebagian besar kawasan hutan karena pembentukannya tidak sesuai dengan Pasal 15 UU 41/1999.
Baca juga: 2025, Kemenhut Targetkan 100 Ribu Hektare Hutan Adat Resmi Diakui
Akibatnya adalah timbul ketidakpastian pemilikan atau penguasaan tanah, sehingga menghambat investasi jangka panjang.
Selain itu, Sudarsono juga mengingatkan risiko besar konflik hukum. Bukan hanya korporasi yang merasa dirugikan, tetapi juga masyarakat kecil yang lahannya terperangkap dalam klaim kawasan hutan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya