Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Celios: Terlalu Beras, Kebijakan Pangan Kita Berisiko Hiperinflasi

Kompas.com - 17/09/2025, 07:31 WIB
Manda Firmansyah,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai beras masih menjadi penyumbang utama inflasi di Indonesia karena kebijakan pangan yang terlalu terpusat pada satu komoditas.

Ia memperingatkan, dalam 5–10 tahun ke depan Indonesia berpotensi menghadapi hiperinflasi bila pemerintah tetap mempertahankan strategi ketahanan pangan yang hanya bergantung pada beras.

“Hiperinflasi ini (seperti Rp) 200 triliun itu juga dari dasar Bank Indonesia ke Bank Himbara itu juga pasti akan beredarnya uang yang meningkat-ningkat. Disertai adanya sisi permintaan dan lain-lain. Jadi menyambung semuanya. Kemudian dari sisi dorongan beras, hal itu juga paling sensitif terhadap inflasi,” ujar Bhima usai diskusi Polemik Harga Beras dan Kebijakan Pangan di Tengah Krisis Iklim, Selasa (16/9/2025).

Menurut Bhima, dampak hiperinflasi akan paling berat menimpa kelompok miskin, baik di perkotaan maupun pedesaan, karena beras adalah bahan pangan utama mereka.

Terlalu Sempit

Bhima menilai perspektif ketahanan pangan pemerintah terlalu sempit karena selalu dikaitkan dengan cadangan beras. Padahal, sejak 2022 harga beras terus melonjak. Kini, di pasar tradisional harganya sudah menembus Rp15.000/kg dari sebelumnya di bawah Rp12.500.

Baca juga: Produksi Pangan Dunia Cukup, tapi Banyak yang Tak Sampai ke Masyarakat

“Harga beras makin naik, berbanding terbalik dengan klaim surplus. Bahkan kebijakan food estate pun tidak menjawab masalah. Ambil contoh di Merauke, Papua, harga beras tetap naik,” tutur Bhima.

Selain itu, impor bahan pangan, produk peternakan, dan pupuk kimia terus meningkat sepanjang 2012–2024. Namun kebijakan ini tidak memperbaiki produksi dalam negeri.

“Indonesia terus mengimpor pupuk yang tujuannya untuk meningkatkan produksi beras, tapi di sisi lain impor pangan kita juga meningkat. Artinya, kebijakan impor pupuk yang terus meningkat itu tidak berujung pada peningkatan produksi pangan,” jelasnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, luas panen padi justru menurun sejak 2021, terutama di Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Sementara itu, permintaan beras terus meningkat dan situasi diperparah oleh ketidakpastian iklim pascapandemi.

Diversifikasi sebagai Solusi

Bhima memperkirakan Indonesia timur akan menjadi kawasan yang paling cepat terdampak hiperinflasi jika kebijakan berbasis beras terus dipaksakan.

Selain salah kelola pangan, faktor lain adalah pengabaian tanaman lokal dan perusakan lahan akibat proyek strategis nasional (PSN).

"Ada masalah di Maluku Utara itu sekarang yang serius, anak-anak mudanya itu mencari kerja di smelter-smelter. Wedabay salah satunya. (Juga) di Pulau Obi. Enggak mau mengerjakan lahan pertanian. Sementara itu, enggak mungkin kita akan makan nikel. Itu sebenarnya sarkas. Kita enggak makan nikel, kita tuh makan ya beras atau makan tanaman lokal, lha bisa begitu karena ketergantungan beras," katanya.

Sebagai jalan keluar, Bhima menekankan pentingnya diversifikasi pangan. Wilayah Indonesia bagian timur, katanya, menyimpan kekayaan pangan alternatif yang bisa menjadi basis produksi pangan restoratif, yakni pangan yang memberi nilai tambah tanpa merusak alam.

Bahkan, beberapa jenis pangan lokal membutuhkan pohon besar sebagai kanopi, sehingga hutan justru terjaga alih-alih dibuka.

“Jangan hanya karena resentralisasi kebijakan pangan di pusat, akhirnya salah arah dan berujung inflasi, kemiskinan, hingga ancaman ketahanan pangan,” pungkas Bhima.

Baca juga: Kemenko Pangan: MBG Kurang Ikan, Perlu Manfaatkan Pangan Akuatik

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Tropenbos Indonesia: Restorasi Gambut Swakelola di Tingkat Tapak Butuh Pendampingan
Tropenbos Indonesia: Restorasi Gambut Swakelola di Tingkat Tapak Butuh Pendampingan
LSM/Figur
KLH Targetkan Dekontaminasi Cikande Selesai Akhir November
KLH Targetkan Dekontaminasi Cikande Selesai Akhir November
Pemerintah
Puncak Musim Hujan, BMKG Gelar Operasi Modifikasi Cuaca untuk Cegah Banjir
Puncak Musim Hujan, BMKG Gelar Operasi Modifikasi Cuaca untuk Cegah Banjir
Pemerintah
Menteri LH: Cengkih Terpapar Radioaktif Asal Lampung Tertangani
Menteri LH: Cengkih Terpapar Radioaktif Asal Lampung Tertangani
Pemerintah
Menyelamatkan Lahan Kritis Indonesia dari Desa: Pelajaran Ekologi dari Perlang
Menyelamatkan Lahan Kritis Indonesia dari Desa: Pelajaran Ekologi dari Perlang
Pemerintah
PLTN Pulau Gelasa dan Ujian Tata Kelola Risiko
PLTN Pulau Gelasa dan Ujian Tata Kelola Risiko
Pemerintah
Gunung Ditutup karena Sampah: Cermin Buram Wisata Alam Kita
Gunung Ditutup karena Sampah: Cermin Buram Wisata Alam Kita
Pemerintah
Menebus Keadilan Arjuno Welirang
Menebus Keadilan Arjuno Welirang
Pemerintah
Fortifikasi Pangan, Strategi Efektif Wujudkan SDM Unggul dan Ketahanan Gizi Nasional
Fortifikasi Pangan, Strategi Efektif Wujudkan SDM Unggul dan Ketahanan Gizi Nasional
BrandzView
FAO Masukkan Salak Bali Dalam Daftar Warisan Pertanian Baru
FAO Masukkan Salak Bali Dalam Daftar Warisan Pertanian Baru
Pemerintah
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem Sepekan ke Depan, Ini Wilayah yang Harus Waspada
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem Sepekan ke Depan, Ini Wilayah yang Harus Waspada
Pemerintah
PSN Tebu untuk Etanol di Merauke Dinilai Tak Jawab Transisi Energi Bersih
PSN Tebu untuk Etanol di Merauke Dinilai Tak Jawab Transisi Energi Bersih
LSM/Figur
GBC Indonesia Dorong Prinsip Bangunan Hijau Jadi Solusi Iklim Lewat 'Greenship Award 2025'
GBC Indonesia Dorong Prinsip Bangunan Hijau Jadi Solusi Iklim Lewat "Greenship Award 2025"
Swasta
Agroforestri Intensif Berpotensi Masuk Pasar Karbon, tapi Terkendala Dana
Agroforestri Intensif Berpotensi Masuk Pasar Karbon, tapi Terkendala Dana
LSM/Figur
IAEA: Dekarbonisasi dengan Manfaatkan Nuklir Tak Boleh Abaikan Keamanan dan Keselamatan
IAEA: Dekarbonisasi dengan Manfaatkan Nuklir Tak Boleh Abaikan Keamanan dan Keselamatan
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau