KALIMANTAN TENGAH, KOMPAS.com - Minggu (28/9/2025) siang, pesawat meninggalkan hiruk pikuk Jakarta, membawa saya menuju Bandar Udara Tjilik Riwut. Dari sana, perjalanan darat menuju Desa Barunang, Kapuas Tengah, Kabupaten Kapuas, dimulai.
Begitu keluar dari Kota Palangka Raya, lanskap berubah perlahan. Jalan beraspal digantikan pemandangan pohon Eucalyptus yang berjajar di kanan kiri. Namun tantangan sesungguhnya muncul ketika mobil mulai menyusuri jalan pasir yang berdebu pada malam hari. Tanpa lampu jalan, mobil menembus gelap dan debu tebal, mengikuti kendaraan pemandu dan truk yang melintas dari arah berlawanan.
Keesokan harinya, perjalanan berlanjut di jalan penuh lubang, tanjakan, dan turunan curam. Suasana sunyi di tengah hutan yang awalnya menegangkan berubah menjadi kelegaan saat kami tiba di Barunang.
Baca juga: Harmoni di Pedalaman Kalimantan: Cerita Anak SD Barunang Hidup dengan Ragam Agama dan Alam
Kondisi jalan menuju Desa Barunang, Kapuas Tengah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, usai hujan mengguyur.Perjalanan ini seperti menyeberangi dua dunia, dari hiruk Jakarta ke heningnya hutan Kalimantan. Dan di tengah hening wilayah yang bisa dikatakan Terdepan, Terluar, dan Tertinggal itu hidup anak-anak yang setiap hari menempuh perjalanan panjang demi satu hal: belajar.
Desa Barunang terletak di tepi sungai, khas pemukiman masyarakat Dayak Ngaju. Dulu, sebelum ada jalan darat, perahu menjadi satu-satunya alat transportasi.
Mantir adat Desa Barunang, Bukit, masih mengingat jelas masa kecilnya. Ia harus mendorong perahu dengan bambu panjang selama berhari-hari demi bersekolah di desa tetangga, Pujon. Ia hanya lulus SD karena orang tuanya sudah tidak sanggup menanggung biaya pendidikan.
"(Saya pergi sekolah) pakai perahu dan mendayung, dua hari menuju hilir dari sini (Barunang). Jadi, itulah kondisi yang membuat pendidikan dan sekolah kami menjadi terlantar. Rata-rata tidak bisa melanjutkan sekolah. Begitu juga kalau pulang sekolah, menggunakan bambu panjang untuk mendorong perahu, satu minggu dari Pujon sampai Barunang," ujar Bukit.
Cerita serupa datang dari Sosialis, warga lainnya. Ia menempuh perjalanan satu jam setiap hari menuju sekolah dasar, lalu lima jam naik perahu bermesin saat melanjutkan ke SMP di Pujon.
“Masih nunggu siapa yang bisa turun ke Pujon, ikut itu, enggak ada bahasanya kamu harus bayar ini. Langsung berangkat saja,” kenangnya.
Kini, anak-anak mereka sudah lebih beruntung. SD dan SMP berdiri di Barunang, meski tantangan belum sepenuhnya hilang.
Perahu mesin melintasi Sungai Kuatan yang mengalir hingga Desa Barunang, Kapuas Tengah, Kabupaten Kapuas.SD Negeri 1 Barunang memiliki 94 siswa dan sembilan guru. Menurut guru Sugerno, minat orang tua terhadap pendidikan mulai tumbuh, meski belum sekuat di kota.
"Seperti yang saya sampaikan tadi saat upacara bendera, bahwa tidak ada alasan (siswa) untuk malas belajar, karena pihak ketiga (PAMA Group) cukup banyak membantu," ujar Sugerno.
Guru magang Imelda Fransiska menghadapi tantangan saat mengajar baca-tulis dan berhitung.
"Mereka bisa berhitung dan membaca, cuma waktu belajarnya agak lama. Tapi, anak-anaknya lebih semangat mendengarkan saya menjelaskan. Kalau (saat saya mengajar) di Palangkaraya tuh sepertinya mereka enggak terlalu heboh kalau ada guru seperti kami," tutur Imelda.
Guru magang dari Yayasan Bina Harati Pama, Imelda Fransiska, menasehati murid-murid SD Negeri Barunang 1 agar kembali masuk ke ruang kelas.Keterbatasan listrik menghambat penggunaan teknologi dapat menunjang proses belajar mengajar. Padahal, sebagian murid SD Negeri 1 Barunang menyukai gaya belajar visual yang membutuhkan proyektor untuk menampilkan gambar.
Pasokan listrik di SD Negeri 1 Barunang berasal dari panel surya, yang sangat bergantung pada cuaca. Sebagai alternatif, SD Negeri 1 Barunang menggunakan genset untuk mendapatkan pasokan listrik.
"(Pasokan listrik) Kurang stabil. (Panel surya) Kalau mendung kurang bagus. Karena biasanya harus pakai genset, tapi kadang enggak support (untuk beberapa elektronik). Kadang mati mendadak. Jadi, hanya untuk lampu dan mengisi baterai beberapa alat elektronik saja. Kalau pakai genset itu berisik, menganggu sekali," ucapnya.
Seperti SD Negeri 1 Barunang, SMP Negeri 4 Kapuas Tengah yang menggunakan panel surya juga mengalami kendala pasokan listrik. Selain listrik, kegiatan belajar mengajar di SMP Negeri 4 Kapuas terkendala keterbatasan guru dan kurangnya dukungan orang tua murid terhadap pendidikan anaknya.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Sekolah SMP Negeri 4 Kapuas Tengah, Rabiyati mengatakan, banyak guru PNS dan PPPK enggan mengajar di Barunang karena berbagai alasan, termasuk jarak tempuh yang jauh, kondisi medan sulit, serta kurangnya fasilitas.
Di sisi lain, kesadaran orang tua murid akan pentingnya pendidikan baru mulai meningkat sejak tahun 2024.
Sebelumnya, murid-murid SMP Negeri 4 Kapuas Tengah seringkali tidak masuk sekolah karena membantu orang tua bekerja atau terlibat dalam kegiatan adat seperti pernikahan dan kematian.
Plt Kepala Sekolah SMP Negeri 4 Kapuas Tengah, Rabiyati menunjukkan bukti prestasi murid-muridnya, terutama di bidang kesenian.Baca juga: Guru di Tengah Hutan: Perjuangan Rabiyati Mengajar, Mengasuh Anak, dan Melawan Sepi
Ia mengakui kualitas akademik murid SMP Negeri 4 Kapuas Tengah tertinggal dibandingkan dengan sekolah-sekolah di daerah perkotaan. Meski demikian, SMP Negeri 4 Kapuas Tengah mempunyai keunggulan di bidang kesenian, dengan murid-muridnya yang meraih banyak prestasi dalam berbagai lomba, termasuk karungut, tari, pramuka, dan permainan tradisional.
Murid-murid SMP Negeri 4 Kapuas Tengah mementaskan seni tutur Karungut di lapangan sekolahnya."Di sini masih ada pernikahan dini. Seperti tahun 2024 lalu, yang harusnya itu murid ikut ANBK (asesmen nasional berbasis komputer), ternyata (malah) menikah. Lalu, ada yang dia (lanjut pendidikan) ke SMK (Maharati). Lulus tahun ini, kemudian menikah juga, tadi acaranya," ujar Rabiyati.
SD Negeri 1 Barunang dan SMP Negeri 4 Kapuas Tengah merupakan salah dua di antara sekolah-sekolah binaan PAMA Group.
PAMA Group menyediakan berbagai fasilitas penunjang seperti panel surya, rumah dinas untuk para guru dari luar Desa Barunang, sampai menggaji guru honorer. PAMA Group melalui Yayasan Bina Harati PAMA juga mengelola sekolah swasta, SMK Maharati.
SMK Maharati memprioritaskan menerima murid-murid dari berbagai sekolah binaan PAMA Group, termasuk SMP Negeri 4 Kapuas Tengah.
SMK bersistem boarding school yang terletak di Desa Buhut Jaya ini — tetangga Desa Barunang — memiliki banyak fasilitas pendukung kegiatan belajar mengajar. SMK Maharati juga mempunyai workshop untuk magang dan kerja, rumah dinas untuk para guru, asrama murid, perpustakaan, beberapa tempat ibadah, hingga berbagai fasilitas olahraga.
Baca juga: Dari Hape ke Buku: Cara SMK di Pedalaman Kalimantan Bikin Murid Jatuh Cinta pada Membaca
SMK Maharati menggunakan genset sebagai sumber listrik utama karena letaknya yang berada di tengah hutan dan jauh dari jaringan PLN. Penggunaan genset menghabiskan 500 liter solar per hari, dengan biaya mencapai Rp 10 juta. Panel surya hanya digunakan sebagai sumber cadangan energi lantaran tidak cukup optimal untuk memenuhi kebutuhan listrik sekolah.
Apalagi, kegiatan belajar mengajar pada jurusan desain komunikasi visual (DKV) dan teknik alat berat (TAB) di SMK Maharati membutuhkan listrik dalam jumlah besar.
"Listrik itu untuk praktikum, menggunakan komputer maupun teknik alat berat lainnya yang memerlukan perkakas listrik. Panel surya itu untuk mensuplai kebutuhan listrik di SMK Maharati itu enggak akan cukup dan kalau kami dihitung-hitung perbandingan biayanya lebih mahal juga dalam perawatan. Kalau akhirnya kalau ada masalah kerusakan, kami lebih repot," tutur Kepala Sekolah SMK Maharati, Aris Dianto.
Suasana SMK Maharati di Desa Buhut Jaya, Kapuas Tengah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.Menurut Aris, terdapat kesenjangan kualitas akademik antara sekolah-sekolah di Jawa dan Kalimantan Tengah. Ia berharap, SMK Maharati dapat menjadi bagian dari solusi peningkatan kualitas akademik di Kalimantan Tengah. Ia ingin SMK Maharati menjadi sekolah di tengah hutan yang bisa berprestasi di tingkat metropolitan.
Sejak berdiri hampir 5 tahun yang lalu, SMK Maharati telah menunjukkan prestasi yang memuaskan. Salah satu pencapaian terbesar adalah keberhasilan murid SMK Maharati masuk ke dalam lima besar dalam Lomba Kompetensi Siswa (LKS) di tingkat nasional. Prestasi tersebut membawa murid-murid dari pedalaman Kalimantan untuk pertama kalinya merasakan pengalaman mengikuti lomba di luar daerah, seperti Jakarta dan Lampung.
"Orang tua siswa pun tidak pernah bermimpi anaknya bisa berangkat ke Jakarta naik pesawat. Selama ini tinggal di tengah hutan, di desa yang dalam tanda kutip terpencil ya. Harapan saya nanti di tahun 2026 itu kami bisa paling enggak masuk tiga besar ya (dalam LKS)," ucapnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya