Lebih lanjut, Winona menyebutkan, perceraian tidak bisa dilihat sebagai satu peristiwa tunggal, melainkan proses panjang yang dimulai dari munculnya konflik kecil hingga akhirnya mencapai titik yang tidak bisa ditoleransi.
“Bicara tentang perceraian itu bukan satu peristiwa tunggal, tapi proses adaptasi yang panjang. Dari masalah kecil sampai akhirnya masalah yang tidak bisa ditoleransi lagi,” katanya.
Ia juga menyinggung hasil penelitian yang dilakukan selama 30 tahun terakhir.
Studi tersebut menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis seseorang pasca-perceraian sangat dipengaruhi oleh dua hal yaitu kualitas hubungan sebelum bercerai dan kualitas hubungan setelah bercerai.
Artinya, seseorang yang sebelumnya hidup dalam relasi penuh tekanan justru bisa merasakan peningkatan kesejahteraan setelah berpisah.
Perceraian bisa menjadi fase yang sangat berat secara emosional. Ia menyatakan, setiap individu memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan menemukan makna baru setelah berpisah.
Masyarakat juga perlu mengubah cara pandang terhadap perceraian. Alih-alih dianggap sebagai aib atau kegagalan, perceraian seharusnya dilihat sebagai keputusan sadar yang diambil seseorang untuk memperbaiki kualitas hidupnya.
Baca juga: