PERTAMINA, penguasa pasar BBM di Indonesia dengan market share mencapai 96 persen tengah diguncang prahara.
Empat pejabat tingginya dicokok Kejaksaan Agung atas tudingan korupsi bernilai ratusan triliun rupiah terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang.
Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung menduga terjadi pengoplosan Pertamax dengan Pertalite. Publik pun meradang. Mereka merasa tertipu, padahal selama ini harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan pertamax di SPBU.
Sekalipun Pertamina telah memberikan klarifikasi, tak menyurutkan kegeraman publik. Media sosial Pertamina dibanjiri puluhan ribu hujatan dan caci maki.
Berbagai tagar kemarahan menyeruak di jagad virtual di antaranya "pertamax oplosan", "boikot Pertamina", "bubarkan Pertamina".
Bahkan banyak konsumen yang kemudian beralih ke SPBU swasta. Ada pula yang berencana melayangkan gugatan class action karena merasa menjadi korban kebohongan Pertamina dan mengalami kerugian materiil berupa rusaknya kendaraan.
Baca juga: Dugaan Oplosan: Class Action Konsumen Pertamax
Prahara yang dialami Pertamina dalam terminologi Public Relations (PR) dikategorikan sebagai krisis. Pradhan (2021) mendefinisikan krisis PR sebagai peristiwa tidak disangka dan tidak diharapkan yang berpengaruh negatif terhadap reputasi dan operasional perusahaan.
Krisis dapat bermula dari berbagai isu seperti keluhan pelanggan, reaksi negatif di media, cacat produk, problem legal atau skandal media.
Krisis di Pertamina dimulai dari pemberitaan pengungkapan kasus skandal korupsi pertamax oleh Kejagung, yang kemudian memantik reaksi negatif publik secara luas, khususnya di media sosial.
Bagi media khususnya media mainstream, ‘berita buruk’ tentang Pertamina tersebut tentu saja ‘berita baik’ karena menjadi bahan pemberitaan yang akan menarik khalayak pembacanya.
Sebaliknya dalam kacamata PR, berita buruk tersebut tetaplah berita buruk. Kriyantono (2012) mengatakan bahwa bagi media Bad News Is Good News, tapi sebaliknya Bad News is Bad Public Relations.
Banyak kalangan mulai dari anggota DPR, mantan menteri, pengamat energi dan akademisi menilai bahwa kepercayaan publik terhadap Pertamina saat ini telah tergerus dan berada di titik paling rendah. Antrean masyarakat di SPBU swasta semakin menguatkan sinyal ‘trust issue’ tersebut.
Baca juga: Kejagung Pastikan Ada Pengoplosan Pertalite Jadi Pertamax, Kerugian Pasti Masih Dihitung
Keempatnya berkaitan dengan sejauh mana perusahaan bisa memberikan kualitas produk dan layanan yang terbaik dibanding kompetitor, secara konsisten selalu menjaga kualitas produk sesuai harapan konsumen, kepercayaan dan kebanggaan publik terhadap perusahaan serta kecepatan respons terhadap keluhan pelanggan dan kepekaan terhadap lingkungan.
Jika merujuk pada keempat hal tersebut, maka reputasi Pertamina sebagai perusahaan yang memonopoli bisnis minyak saat ini memang sedang berada di titik nadir.
Padahal, reputasi menurut Watson dan Kitchen (2010) dulu, sekarang dan di masa depan akan selalu menjadi hal yang sangat penting bagi organisasi, baik organisasi komersial, pemerintah, maupun nirlaba.
Reputasi yang baik dibutuhkan organisasi untuk mencapai tujuan, tetap kompetitif dan maju serta membuka jalan bagi organisasi untuk diterima oleh para pemangku kepentingan.
Pertamina memang telah menjalankan beberapa upaya dalam rangka mengelola krisis yang dihadapi.
Pertama, memberikan klarifikasi terkait isu korupsi dan pertamax oplosan di forum rapat dengan Komisi VII DPRI oleh Plt Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra.
Penjelasan yang sama juga diberikan oleh VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso di berbagai media.
Baca juga: Kepercayaan Publik di Ujung Tanduk: Danantara, Korupsi, dan Ironi Reformasi
Kedua, Pertamina melalui Direktur Utama Simon Aloysius menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada masyarakat dalam konferensi pers dan disiarkan langsung kanal Youtube Pertamina.
Dalam kesempatan sama, Dirut Pertamina juga menyatakan telah membentuk Crisis Center untuk mengevaluasi proses bisnis khususnya operasional.
Ketiga, melakukan uji produk terhadap 75 sampel gasoline dengan berbagai tingkatan RON (90-98) dari terminal BBM Plumpang dan SPBU sekitar Jabodetabek di Lemigas Kementerian ESDM, yang akan diikuti uji produk serupa di seluruh SPBU di Indonesia.
Hasilnya diklaim bahwa kualitas produk Pertamina telah sesuai dengan spesifikasi yang dipersyaratkan oleh Ditjen Migas.
Keempat, menggandeng lembaga independen seperti Surveyor Indonesia dan TUV Rheinland Indonesia untuk memastikan kualitas produk dari BBM Pertamina sesuai dengan standar yang berlaku.