Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aznil Tan
Direktur Eksekutif Migrant Watch

Direktur Eksekutif Migrant Watch

Ketika Pengumuman THR Ojol Menjadi "Macan Ompong"...

Kompas.com - 11/03/2025, 05:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PENGUMUMAN Presiden Prabowo Subianto mengenai pemberian bonus Hari Raya Idul Fitri bagi pengemudi ojek online (ojol) dan kurir berbasis aplikasi disambut dengan beragam reaksi.

Sebagian melihatnya sebagai langkah awal yang baik, menandakan bahwa pemerintah mulai memberi perhatian pada nasib pekerja gig economy yang selama ini hidup dalam ketidakpastian hukum.

Namun, mari kita lihat realitasnya. Selama satu dekade keberadaan aplikator ojek online di Indonesia, tuntutan pengemudi atas hak dasar seperti Tunjangan Hari Raya (THR) terus diabaikan.

Padahal, THR hanyalah satu dari sekian banyak bentuk perlindungan yang seharusnya mereka peroleh. Kini, untuk pertama kalinya, pemerintah memberikan respons terhadap aspirasi mereka.

Baca juga: Umumkan THR Ojol, Presiden Prabowo: Pemerintah Mengimbau dalam Bentuk Uang Tunai

Pertanyaannya, apakah ini benar-benar langkah nyata untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja? Ataukah sekadar ilusi yang mengalihkan perhatian dari persoalan utama: minimnya perlindungan bagi jutaan pekerja digital di Indonesia?

Bahkan dalam hal THR sekalipun, aplikator tetap mencari celah untuk menghindari tanggung jawab mereka.

Tak lama setelah pengumuman presiden, salah satu aplikator merespons dengan menawarkan "bonus kinerja khusus" bagi mitra pengemudi, yang diklaim sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi mereka dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri.

Sekilas, pernyataan ini terdengar positif—seolah-olah perusahaan peduli terhadap kesejahteraan pengemudi. Namun, ada satu hal yang perlu dicermati: bonus ini bukan bagian dari hak rutin yang seharusnya diterima pekerja gig economy.

Lebih dari itu, bonus ini bukan hak universal yang diberikan kepada seluruh pengemudi, melainkan insentif bersyarat yang hanya diberikan kepada mereka yang memenuhi kriteria tertentu, seperti jumlah pesanan yang diselesaikan, tingkat penyelesaian order, serta jam kerja.

Ini bukan THR dalam arti sebenarnya, melainkan strategi aplikator untuk mendorong pengemudi bekerja lebih keras demi insentif yang sejatinya lebih menguntungkan perusahaan.

Situasi ini semakin menegaskan realitas pahit bagi pekerja gig economy: mereka tetap tidak memiliki hak pasti atas kesejahteraan.

Baca juga: Gig Economy dan Keadilan Sosial: Sampai Kapan Pekerja Berjuang Sendirian?

Alih-alih mendapatkan THR yang bersifat wajib dan merata, mereka justru semakin dieksploitasi—dipaksa bekerja dengan intensitas tinggi demi mengejar "bonus kinerja khusus" yang pada akhirnya lebih menguntungkan aplikator. Ini bukan bentuk apresiasi, melainkan eksploitasi terselubung.

Tak hanya itu, aplikator juga berdalih bahwa bonus ini diberikan "sesuai dengan kondisi finansial perusahaan". Dalih klasik semacam ini selalu digunakan untuk menghindari tanggung jawab.

Jika aplikator mampu memotong komisi pengemudi hingga 20-30 persen dari setiap perjalanan, mengapa hak dasar seperti THR masih harus bergantung pada "kondisi keuangan" mereka?

Keuntungan mereka terus mengalir dari keringat para pengemudi, yang setiap hari bekerja tanpa perlindungan yang layak.

Ini bukan sekadar ketidakadilan, tetapi eksploitasi terstruktur—menghisap tenaga dan jerih payah pengemudi demi menumpuk profit, sementara hak-hak dasar mereka terus diabaikan.

Lihat saja Maxim, salah satu penyedia transportasi online di Indonesia, yang secara terang-terangan mengaku tidak memiliki kemampuan finansial untuk memberikan THR.

Mereka berkilah bahwa hubungan dengan pengemudi hanya sebatas "kemitraan," bukan hubungan kerja yang mewajibkan pemberian THR.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau