Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Arifin
Dosen

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat

Anggaran Dibegal demi Gizi

Kompas.com - 23/03/2025, 06:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SUATU siang, saya menerima pesan dari seorang teman kepala puskesmas di Lampung. Isinya singkat, tapi mengguncang: “Bro, dana operasional kami dipotong. Obat tidak bisa dibeli. Sementara, kami diminta membantu distribusi program makan siang gratis.”

Pesan serupa datang dari kampus-kampus negeri, sekolah dasar, kantor dinas, hingga pemerintah desa.

Ada benang merah yang bisa ditarik: anggaran publik sedang mengalami tekanan akut. Dan sumber tekanannya jelas—program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kini menyedot ruang fiskal nasional.

Di tengah tekanan ekonomi global, beban pembiayaan pembangunan, dan ekspektasi tinggi masyarakat terhadap pemerintahan baru, Indonesia justru dihadapkan pada pilihan kebijakan fiskal yang paradoksal.

Program gizi gratis berskala nasional, dengan anggaran raksasa, diluncurkan secara ambisius, tapi tanpa desain fiskal yang kokoh.

Dampaknya? Layanan dasar publik terganggu. Pemerintah daerah kebingungan. Lembaga negara "megap-megap".

Baca juga: BPJS Kesehatan Defisit: Iuran Naik atau Subsidi Ditambah?

Lalu, muncul pertanyaan tajam: Apakah gizi anak-anak dibayar dengan pendidikan yang terpangkas, layanan kesehatan terganggu, dan infrastruktur tak selesai?

Presiden Prabowo Subianto memulai pemerintahannya dengan gebrakan populis: MBG untuk seluruh siswa, dari SD hingga SMA, dan ibu hamil, dengan estimasi anggaran tahunan lebih dari Rp 500 triliun.

Program ini tentu saja membangkitkan harapan: pengentasan stunting, peningkatan kualitas SDM, hingga penggerakan ekonomi rakyat melalui suplai makanan lokal.

Namun, di balik itu, publik dikejutkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang menjadi dasar pemangkasan dan realokasi anggaran secara besar-besaran.

Anggaran pendidikan dasar dipotong 24 persen, pendidikan tinggi 39 persen, kesehatan 18,5 persen, dan pekerjaan umum hingga 73 persen.

Skema pemotongan ini bersifat lintas sektor dan lintas level—mengenai kementerian, lembaga, dan bahkan pemerintah daerah.

Secara hukum keuangan negara, ini bukan sekadar kebijakan teknis. Ini adalah reposisi fiskal yang radikal. APBN, yang sejatinya dirancang berdasarkan prinsip kebutuhan prioritas, rasionalitas belanja, dan keadilan antar-wilayah, kini dijungkirbalikkan demi satu program dominan.

Sebagai akademisi, saya melihat tiga masalah pokok dari desain dan eksekusi program ini.

Baca juga: Kabur Aja Dulu: Dari Frustasi Jadi Strategi Ekonomi

Pertama, terjadi pembajakan orientasi fiskal nasional. Alih-alih memperkuat layanan dasar yang selama ini menjadi komitmen negara—pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar, pemberdayaan masyarakat—anggaran justru disedot ke program berbasis konsumsi langsung.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau