JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri menyatakan bahwa pasar obligasi Indonesia cukup aman dari efek negatif kebijakan pengenaan tarif impor Trump.
Hal itu lantaran porsi kepemilikan asing di obligasi pemerintah hanya sekitar 14 persen.
Sehingga, dia meyakini meskipun seluruh investor asing keluar dari pasar obligasi, efeknya tidak terlampau besar.
“Efek terhadap bond market di Indonesia itu juga mungkin terbatas,” ujarnya dalam diskusi di Jakarta, Minggu (13/4/2025).
Baca juga: Chatib Basri: Tak Perlu Panik, Situasi Ekonomi Indonesia Kini Tak Sama dengan Krisis 1998
Menurut Chatib, situasi krisis saat itu jauh lebih berat dibandingkan dengan krisis yang terjadi kali ini.
“Dan saat itu, Indonesia masih bisa tumbuh 4,6 persen,” ungkapnya.
Tak hanya di sisi pasar obligasi, dampak negatif dari sisi ekspor juga terbatas.
Dia menyebutkan kontribusi ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional hanya sebesar 22 persen, di mana porsi ekspor ke AS hanya sekitar 10 persen.
“Jadi, kalau terhadap PDB, andilnya hanya 10 persen dari 22 persen atau 2,2 persen. Maka, meski dalam skenario terburuk pun, efek (tarif resiprokal AS) hanya 2,2 persen dari GDP,” jelas Chatib.
Baca juga: Ekonomi RI Masih Kuat, Pelaku Pasar Diminta Tak Panik Hadapi Tarif Impor AS
Meski begitu, ia mengamini bahwa industri yang terlibat dalam aktivitas ekspor tak dimungkiri menerima dampak kebijakan Trump.
Oleh karena itu, dia menilai untuk memitigasi efek negatif di industri berbasis ekspor, pemerintah Indonesia mengambil langkah deregulasi.
"Jika Indonesia bisa melakukan deregulasi dengan memotong ekonomi biaya tinggi, maka penurunan dampak dari biaya produksi bisa sangat signifikan,” pungkasnya.
Baca juga: Kata Ekonom, Situasi Ekonomi Terberat adalah Saat Covid-19, Bukan Sekarang
Sebelumnya diberitakan, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif terbaru pada 2 April 2025.
Trump menerapkan tarif minimal 10 persen terhadap semua impor barang dari seluruh dunia, dan Indonesia dikenakan tarif impor sebesar 32 persen.
Sementara itu, tarif resiprokal yang dikenakan AS terhadap negara-negara ASEAN bervariasi.
Malaysia dan Brunei Darussalam 24 persen, Filipina 17 persen, Singapura 10 persen, Kamboja 49 persen, Laos 48 persen, Vietnam 46 persen, Myanmar 44 persen, dan Thailand 36 persen.
Akibat kebijakan baru ini, ekonom memprediksi RI pada akhirnya hanya akan mengenakan tarif impor sekitar 8-9 persen terhadap barang-barang dari Amerika Serikat (AS), dari rencana semula 64 persen.
Baca juga: Jusuf Kalla: Indonesia Tidak Perlu Khawatir dengan Tarif Impor AS
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini