JAKARTA, KOMPAS.com – Harga Bitcoin tertekan di tengah kabar meredanya ketegangan dagang Amerika Serikat (AS) dan China. Momen ini diiringi oleh rilis data inflasi terbaru AS yang memunculkan kekhawatiran baru soal arah kebijakan suku bunga The Fed.
Pada Kamis (12/6/2025), Bitcoin sempat tergelincir di bawah level 108.000 dollar AS atau sekitar Rp 1,78 miliar (kurs Rp16.500).
Koreksi ini terjadi usai data Indeks Harga Konsumen (CPI) AS Mei 2025 menunjukkan kenaikan inflasi tahunan menjadi 2,4 persen. Kenaikan ini memicu dugaan pelaku pasar bahwa Federal Reserve (The Fed) bisa saja menunda rencana pemangkasan suku bunga acuannya.
Padahal sebelumnya, kabar positif datang dari pertemuan dagang AS-China yang menghasilkan kesepakatan untuk memulihkan gencatan senjata setelah dua bulan ketegangan tarif.
Baca juga: Harga Bitcoin Sentuh 110.000 Dollar AS, Transaksi Kripto Domestik Naik
Sentimen ini sempat mendorong harga Bitcoin menembus kisaran 110.000 dollar AS atau sekitar Rp1,81 miliar, disusul pergerakan altcoin seperti Ethereum yang mendekati level 3.000 dollar AS atau sekitar Rp49,5 juta.
Namun laporan inflasi terbaru membuat optimisme itu memudar. Saat ini, Bitcoin diperdagangkan di kisaran 107.594 dollar AS (sekitar Rp1,77 miliar), melemah sekitar 2,3 persen dalam 24 jam terakhir.
"Meski terjadi koreksi, posisi Bitcoin saat ini masih berada jauh di atas rata-rata pergerakan kunci. Ini menjadi indikator bahwa kekuatan tren jangka menengah hingga panjang masih terjaga," ujar Fyqieh Fachrur, Analis Tokocrypto, melalui keterangannya, Kamis (12/6/2025).
Baca juga: Transaksi Bitcoin di Dalam Negeri Meningkat, Imbas Harga Rebound
Fyqieh menambahkan, sebagian besar investor tetap memilih mengakumulasi Bitcoin meski gagal mempertahankan level psikologis 110.000 dollar AS.
"Data on-chain menunjukkan arus keluar dari bursa masih tinggi, menandakan investor lebih memilih menyimpan asetnya untuk jangka panjang. Tekanan beli ini akan menjadi faktor penting dalam pemulihan harga," jelasnya.
Secara teknikal, Bitcoin diproyeksikan punya peluang menguji ulang level 110.000 dollar AS jika mampu bertahan di atas support kuat 106.265 dollar AS atau sekitar Rp1,75 miliar.
Jika berhasil melewati batas itu dan mengonfirmasinya sebagai support baru, BTC berpotensi melanjutkan penguatan menuju rekor tertinggi sepanjang masa di 111.980 dollar AS (sekitar Rp1,85 miliar).
Baca juga: Indonesia Peringkat 3 Adopsi Kripto Dunia, Ungguli AS
Namun, potensi penurunan tetap ada jika tekanan makroekonomi meningkat. Apabila Bitcoin tergelincir di bawah 106.265 dollar AS, harganya bisa meluncur ke kisaran 105.000 dollar AS atau Rp1,73 miliar, yang bisa mengubah proyeksi bullish dalam jangka pendek.
Di sisi lain, pelaku pasar masih menaruh harapan pada kemungkinan pemangkasan suku bunga acuan The Fed mulai September 2025. Data CME FedWatch menunjukkan probabilitas sebesar 57 persen bahwa The Fed akan memangkas suku bunga menjadi 4 persen–4,25 persen pada bulan itu.
“Jika penurunan inflasi berlanjut dan The Fed mulai melonggarkan kebijakan moneternya, ini bisa menjadi katalis tambahan bagi pasar kripto, termasuk Bitcoin, untuk melanjutkan penguatan,” ungkap Fyqieh.