PEMBANGUNAN infrastruktur selalu digadang-gadang sebagai motor penggerak ekonomi nasional. Tak terkecuali proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB/Whoosh), yang sejak awal dijual sebagai simbol modernitas dan transformasi transportasi Indonesia.
Namun, di balik gemerlap laju 350 km/jam dan retorika efisiensi, kini muncul bayang-bayang gelap berupa utang raksasa senilai Rp 116 triliun.
Angka yang mencengangkan ini bukan sekadar catatan akuntansi, melainkan ancaman nyata terhadap kesehatan fiskal BUMN dan keuangan negara.
Isu hutang ini kian mengemuka setelah PT KAI bersama Danantara, sovereign fund baru, berupaya mencari skema restrukturisasi.
Dengan beban bunga yang diperkirakan mencapai Rp 2 triliun – Rp 3,5 triliun per tahun, sementara pendapatan tiket bahkan belum menutupi bunga, publik wajar bertanya: apakah proyek ini akan menjadi berkah atau justru jerat panjang yang membebani generasi mendatang?
Baca juga: Kereta Cepat dan Tantangan Valuasi Aset PT KAI
Inilah yang menuntut kritik tajam, naratif, dan berbasis data agar bangsa tidak terjebak dalam euforia sesaat.
Kereta cepat memang menawarkan kecepatan dan gengsi. Namun, kecepatan laju tak sebanding dengan laju pendapatan.
Data okupansi rata-rata berkisar 16.000–18.000 penumpang per hari, dengan tiket rata-rata Rp 225.000. Itu berarti pendapatan kotor hanya sekitar Rp 1,5 triliun per tahun.
Bandingkan dengan bunga utang yang melampaui Rp 2 triliun—belum biaya operasional, listrik, dan perawatan.
Dengan kata lain, dari sisi arus kas, Whoosh sudah defisit, bahkan sebelum menutup ongkos rutin. Situasi ini ibarat menyalakan mesin dengan bahan bakar yang terus berkurang, sementara jalur yang ditempuh makin panjang dan menanjak.
Jika tidak segera diantisipasi, tekanan finansial akan semakin berat dan bisa mengganggu keberlanjutan operasional.
Inilah yang disebut "bom waktu" oleh banyak pengamat. Infrastruktur seharusnya menopang pembangunan, bukan justru menjadi lubang fiskal yang menggerus APBN.
Ironinya, skema awal proyek ini digembar-gemborkan tanpa jaminan pemerintah. Namun kini, ketika realitas menghantam, pintu penjaminan negara terbuka lebar. Publik berhak merasa dikhianati oleh narasi awal yang terkesan manipulatif.
Masuknya Danantara dalam wacana penyelamatan KCJB memberi dua wajah. Di satu sisi, ada harapan beban utang bisa dikelola secara profesional dengan instrumen finansial yang lebih fleksibel.
Namun, di sisi lain, tanpa strategi jelas, langkah ini hanya berpotensi memindahkan beban: dari neraca KAI ke kantong negara. Itu artinya, rakyat tetap yang menanggung, hanya saja kemasan dan mekanismenya berganti.
Baca juga: Bom Waktu Pati dan Wacana Penghapusan Pajak Bumi-Bangunan