BATU BARA di Indonesia selalu tampil sebagai wajah ganda. Ia diakui, bahkan dapat dikenang sebagai penyelamat fiskal, tetapi juga bisa disebut sebagai beban masa depan.
Ia membiayai pembangunan jalan, sekolah, dan rumah sakit, tetapi di saat yang sama menimbulkan polusi udara, krisis iklim, dan kerentanan ekonomi.
Tidak banyak komoditas yang begitu menentukan denyut ekonomi-politik Indonesia seperti batu bara.
Di saat harga melonjak, kas negara terisi penuh. Sedikit melucu, apakah karena wajah ganda itu sehingga ada yang bercanda dengan mengatakan singkatan batu bara sebagai "barang Tuhan bagi rata".
Di saat harga jatuh, APBN berguncang. Dan kini, di tengah target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) 2026 yang dipatok Rp 113,4 triliun, lebih rendah dari target 2025, kita kembali diingatkan bahwa ketergantungan pada mineral batu hitam ini adalah perjudian yang hasilnya selalu ditentukan pasar global, bukan kehendak kita sendiri (IMA, 2025).
Selama lebih dari satu dekade terakhir, batu bara telah menjadi mesin utama penerimaan negara dari sumber daya alam.
Pada 2022, ketika harga batu bara acuan (HBA) melesat hingga 276 dollar AS per ton, penerimaan melonjak hingga 147 persen. Angka itu memberi ilusi seolah negara bisa terus bergantung pada komoditas ini.
Namun pada 2025, realisasi penerimaan hingga semester pertama baru Rp 74,2 triliun, atau sekitar 59,5 persen dari target (Kementerian ESDM, 2025).
Ini bukan hanya sekadar data fiskal, melainkan sinyal betapa rapuhnya fondasi fiskal kita ketika bergantung pada harga pasar yang tidak bisa dikendalikan.
Baca juga: Aturan Baru Bahlil: Harga Patokan Batu Bara Dicabut, Perusahaan Tambang Lebih Fleksibel
Dalam ekonomi politik, kondisi ini sering disebut resource volatility trap, jebakan volatilitas sumber daya yang membuat perencanaan pembangunan selalu diwarnai ketidakpastian.
Gejolak harga batu bara bukan fenomena baru, tetapi dalam lima tahun terakhir, ia menjadi semakin terikat pada dinamika geopolitik.
Kebijakan energi China, misalnya, langsung menentukan arah pasar global. Pada Agustus 2025, harga batu bara sempat menguat tiga hari beruntun hingga mencapai 111,5 dollar AS per ton, didorong oleh konsumsi China dan kebijakan pro-batu bara dari Presiden Donald Trump di Amerika Serikat. Namun, euforia ini hanya berlangsung sesaat (Kontan.co.id, 2025).
China Electricity Council memperingatkan bahwa tren kenaikan harga akan segera melemah karena konsumsi listrik dari batu bara menurun, sementara batu bara impor menjadi lebih murah dan kompetitif dibanding produksi domestik.
Kita bisa membaca pola ini dengan kacamata teori demand substitution, begitu ada pilihan energi lain yang lebih murah dan bersih, permintaan pada batu bara akan bergeser.
Sementara itu di Amerika Serikat, kebijakan energi Donald Trump memperlihatkan betapa politik bisa memberi efek sesaat.
Dengan menolak proyek tenaga surya dan angin, Trump memberi ruang baru bagi batu bara. Namun di balik itu, dunia tetap bergerak menuju energi terbarukan.
Uni Eropa tetap melaju dengan Green Deal, China tetap memperluas kapasitas PLTS dan kendaraan listrik, bahkan India pun mulai serius mendorong energi bersih.
Maka, apa yang terjadi di Amerika bukanlah tren global, melainkan anomali yang lahir dari retorika politik domestik.
Kebijakan ini bisa memberi napas tambahan bagi batu bara, tetapi hanya dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, arus investasi global tetap berpaling ke sektor hijau.
Pertanyaannya kemudian: di mana posisi Indonesia dalam pusaran ini? Apakah kita akan terus menggantungkan fiskal pada harga batu bara, atau mulai menyiapkan pijakan baru?
Di tingkat domestik, arah politik sudah mulai terlihat. Presiden Prabowo Subianto memimpin rapat terbatas di Hambalang membahas tata kelola izin tambang strategis.
Rapat itu membicarakan pengelolaan nikel, emas, timah, dan komoditas strategis lainnya. Prabowo bahkan menegaskan bahwa Indonesia memiliki semua mineral rare earth yang dibutuhkan dunia modern.
Pernyataan itu penting, karena menunjukkan bahwa orientasi politik mungkin mulai bergeser, batu bara bukan lagi satu-satunya primadona, tetapi hanya bagian dari portofolio sumber daya alam.
Namun, kita tahu, di dalam APBN, batu bara masih menjadi kontributor terbesar penerimaan SDA nonmigas. Artinya, meski narasi politik berbicara tentang masa depan mineral kritis, kenyataan fiskal masih berpijak pada batu bara.
Korporasi besar membaca sinyal ini dengan cepat. PT Bukit Asam (PTBA), misalnya, kini menyiapkan dua jalur diversifikasi: hilirisasi batu bara dan bisnis hijau.