SETIAP potong gigitan bar cokelat yang nikmat dan meleleh dalam mulut kita, sejatinya menyimpan kisah panjang dari kebun-kebun kakao di pedalaman nusantara, hingga pabrik-pabrik cokelat kelas dunia.
Sebatang cokelat kecil bukan sekadar camilan lezat, tapi juga potensi besar untuk menggerakkan roda ekonomi nasional sekaligus mengangkat kesejahteraan petani.
Sejarawan mencatat, biji kakao pertama kali dibawa bangsa Spanyol ke Nusantara di Minahasa, sekitar tahun 1560.
Awalnya, panen kakao hanya berskala kecil dan belum berkembang luas di Nusantara. Perubahan baru terjadi pada akhir abad ke-19, ketika perkebunan Belanda di Jawa menanam bibit unggul asal Venezuela.
Dari sinilah lahir klon kakao tahan hama, Djati Runggo, yang kemudian menyebar ke Jawa dan Sumatera.
Seiring waktu, kakao merambah berbagai wilayah, hingga kini Sulawesi menjadi tulang punggung produksi nasional, yang menyumbang sekitar 60,7 persen dari total produksi.
Baca juga: Saatnya Perkebunan Naik Kelas: Ekspor Olahan, Bukan Sekadar Mentah
Saat ini, kakao telah berakar di bumi Indonesia. Namun, di balik potensinya yang besar di mana tanah kita yang subur mampu menghasilkan biji kakao berkualitas unggul, tetapi nilai tambah terbesar justru mengalir ke tangan pihak lain.
Nilai tambah ekonomi dari pengolahan komoditas kakao belum sepenuhnya berpihak pada petani dan bangsa. Potensi yang terkandung di setiap biji kakao masih menunggu untuk diwujudkan menjadi kekuatan ekonomi bangsa yang benar-benar berdaulat.
Cokelat kini menjadi bagian dari gaya hidup dan selera kuliner masyarakat dunia. Di Indonesia, kita dapat menikmati berbagai produk cokelat lokal, aneka permen, es krim, kue, dan minuman cokelat di pasar dan kafe.
Cokelat sudah menjadi budaya modern dan melekat di lidah rakyat kita. Meski begitu, konsumsi cokelat domestik secara nasional masih rendah.
Data Kementerian Perindustrian tahun 2023 menggambarkan konsumsi cokelat per kapita Indonesia hanya sekitar 0,49 kg per tahun, jauh di bawah rata-rata konsumsi cokelat di dunia sekitar 2,3 kilogram per kapita.
Beberapa negara bahkan mengkonsumsi cokelat jauh lebih tinggi, seperti Swiss (11,6 kg per kapita), Austria (8,1 kg per kapita), dan Jerman (7,9 kg per kapita).
Hal ini menunjukkan bahwa pasar cokelat dalam negeri masih terbuka lebar, sehingga membangkitkan selera mengonsumsi produk lokal bisa menjadi bagian strategi nasionalisme ekonomi berbasis kakao.
Perkebunan kakao Indonesia didominasi petani kecil. Sensus Pertanian 2023 mencatat ada 10,8 juta rumah tangga petani perkebunan, banyak di antaranya mengelola kebun kakao berskala rakyat.
Para petani kakao menghadapi tantangan berat, seperti tanaman sudah menua, serangan hama dan penyakit sering terjadi, serta keterbatasan modal dan pengetahuan pertanian modern.
Baca juga: Menembus Pasar Premium Organik