SEOUL, KOMPAS.com - Saat pelancong luar negeri berkunjung ke Korea Selatan, maka dia harus rela berpindah-pindah di tiga aplikasi peta berbeda. Tiga aplikasi—Google Maps, Kakao Map, dan Naver Map digunakan secara bergantian hanya untuk menemukan jalan.
Hal itu karena Google Maps, yang lazim digunakan di banyak negara, tidak berfungsi penuh di Korea Selatan. Jadi, setiap tahun, jutaan wisatawan harus mengunduh aplikasi peta lokal seperti Kakao Map dan Naver Map, yang tidak memiliki fitur sedetail Google.
“Capek, karena kita harus unduh tiga aplikasi, lalu bolak-balik di antara ketiganya untuk menemukan jalan ke tempat yang dituju,” kata pelancong asal Taiwan, Eric Weng, seperti dikutip dari CNN, Sabtu (6/9/2025).
Fenomena ini menggambarkan anomali. Korea Selatan adalah salah satu ekonomi paling maju di Asia, negara sekutu dekat Amerika Serikat, dan dikenal sebagai pusat inovasi digital.
Produk global seperti Gmail dan YouTube berjalan tanpa masalah. Namun, Google Maps justru tidak berfungsi penuh di negeri Ginseng.
Baca juga: Airlangga: Data Pribadi Sudah Lama Mengalir ke AS lewat Google dan Amazon
Akar masalah terletak pada data peta skala besar yang dikuasai pemerintah Korea Selatan. Google mengklaim membutuhkan peta detail dengan skala 1:5.000 untuk bisa menyediakan navigasi “turn-by-turn” secara lengkap, terutama di kota padat seperti Seoul.
Selama hampir 20 tahun, Google meminta agar data itu bisa diekspor, namun pemerintah Korea Selatan terus menolak dengan alasan keamanan nasional.
Pertarungan puluhan tahun ini dimulai dari ketegangan geopolitik, lalu meluas ke isu kedaulatan digital dan dominasi pasar.
Dengan kata lain: siapa yang berhak mengendalikan data sebuah negara? Siapa yang diuntungkan, dan dengan biaya apa? Apa yang terjadi pada perusahaan lokal ketika raksasa teknologi global masuk?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang kini diperdebatkan otoritas Korea Selatan, yang diperkirakan akan memutuskan menerima atau menolak permintaan ekspor terbaru Google pada awal Oktober.
“Kedua pihak telah berada dalam perebutan kekuasaan selama dua dekade,” kata Soyun Ahn, asisten profesor di Boston College yang meneliti tata kelola platform global.
Permintaan Google agar data peta diekspor ke server luar negeri sudah berkali-kali ditolak. Alasan resmi pemerintah: keamanan nasional. Lokasi militer dan fasilitas pemerintah dikhawatirkan terekspos. Namun, sebagian pakar menilai alasan itu berlebihan.
“Kekhawatiran keamanan nasional mungkin terlalu dibesar-besarkan, karena peta tersebut sudah tersebar luas,” kata Scott McQuire, profesor media dan komunikasi di University of Melbourne.
Baca juga: Indonesia Disarankan Tiru Negara Nordik, Data Pajak Pejabat Bisa Dilihat Publik
Lebih jauh, isu ini terkait digital sovereignty—kedaulatan digital—serta kepentingan ekonomi. Jika Google Maps diizinkan beroperasi penuh, ada kekhawatiran ia akan menggeser pemain lokal seperti Naver dan Kakao.
Survei terhadap 239 perusahaan informasi spasial di Korea Selatan menunjukkan 90 persen menolak ekspor data peta ke Google dengan alasan potensi penurunan penjualan dan hilangnya lapangan kerja.
“Saya rasa ada kepentingan untuk tetap mempertahankan platform peta lokal,” ujar McQuire.
Bagi Korea Selatan, tidak ada insentif besar untuk menyetujui permintaan Google. Tidak ada dorongan ekonomi signifikan, warga sudah terbiasa dengan aplikasi lokal, dan dampaknya pada turis relatif kecil.
Namun bagi Google, akses ke peta detail Korea Selatan sangat bernilai. Dengan lebih dari 51 juta penduduk yang memiliki jejak digital besar, Google bisa mengintegrasikan data peta ke dalam layanan lain, dari transportasi daring hingga platform berbasis lokasi seperti Airbnb.
Dampak lanjutannya adalah akses masif terhadap data perilaku pengguna, yang bisa dikonversi menjadi keuntungan ekonomi.
Keputusan akhir akan dibuat oleh dewan lintas kementerian, melibatkan perdagangan, pertahanan, keamanan, hingga intelijen. Menurut Ahn, kemungkinan besar permintaan itu ditolak lagi kecuali Google bersedia berkompromi.
Namun, ada kemungkinan Korea Selatan menyetujuinya sebagai strategi diplomasi, misalnya untuk memperoleh konsesi dari AS dalam perjanjian dagang terbaru.
Bagi Indonesia, tarik-ulur ini menjadi contoh nyata bagaimana negara bisa mempertahankan kedaulatan digital sekaligus melindungi ekosistem bisnis lokal.
Indonesia sendiri memiliki banyak platform digital yang berkompetisi dengan raksasa global, dari marketplace hingga layanan transportasi.
Apakah Indonesia siap jika dihadapkan pada situasi serupa, di mana data strategis harus dipertukarkan dengan perusahaan multinasional?
Siapa yang lebih diuntungkan? Dan apa dampaknya terhadap perusahaan nasional?
Baca juga: Cara Mudah Cek Tarif Tol Lewat Google Maps, Ini Panduannya
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini