Salin Artikel

Belanja APBD yang Selalu Menumpuk di Akhir Tahun

SEKARANG ini, siapa pun bisa dengan mudah memantau kinerja belanja APBD setiap pemerintah daerah. Tidak perlu akses khusus, tidak butuh data dari orang dalam. Cukup buka Google, ketik portal APBD DJPK, lalu klik tautan yang muncul di hasil pencarian. Dalam hitungan detik, kita bisa melihat bagaimana kinerja belanja daerah di seluruh Indonesia, mulai dari tingkat nasional hingga ke kabupaten dan kota.

Transparansi fiskal kini betul-betul ada di ujung jari. Itulah yang saya lakukan beberapa waktu lalu. Saya penasaran: bagaimana sebenarnya kinerja belanja APBD sampai dengan triwulan III tahun ini?

Ketika saya memilih tampilan nasional di portal tersebut, datanya cukup menggelitik. Realisasi belanja daerah secara nasional baru mencapai 52,38%. Jika diuraikan, komposisinya adalah belanja pegawai 61,81%, belanja barang 49,85%, belanja modal 29,13%, dan belanja lainnya 56,49%.

Kalau kita bandingkan dengan waktu yang sudah berjalan—tiga perempat tahun—angka tersebut jelas rendah. Idealnya, realisasi belanja daerah pada triwulan III sudah mencapai 70% dari total pagu anggaran. Artinya, pemerintah daerah baru menghabiskan separuh dari anggaran yang mereka miliki.

Yang paling mengkhawatirkan adalah belanja modal—komponen yang paling berdampak langsung pada pembangunan fisik dan ekonomi masyarakat—karena realisasinya hanya 29,13%.

Lambatnya realisasi belanja modal ini bukan sekadar angka di laporan. Ia mencerminkan lambatnya perputaran ekonomi di daerah, tertundanya pembangunan infrastruktur, dan berkurangnya peluang kerja. Uang publik yang seharusnya mendorong aktivitas ekonomi, justru mengendap di kas daerah.

Rasa penasaran saya tidak berhenti di situ. Saya ingin tahu, provinsi mana yang paling cepat dan mana yang paling lambat menyerap anggaran. Apakah ada yang sudah mencapai target 70% itu? Syukurlah, portal DJPK tidak hanya menampilkan data nasional, tetapi juga menyediakan pilihan untuk melihat realisasi belanja per provinsi, bahkan sampai ke level kabupaten dan kota.

Saya pun membuka satu per satu data per provinsi. Hasilnya cukup menarik, meski sekaligus memprihatinkan. Provinsi dengan kinerja belanja APBD tertinggi hanya mencapai 61,86%, dan itu satu-satunya yang berhasil menembus angka di atas 60%. Sementara yang terendah hanya 40,24%. Dari 38 provinsi, lebih dari separonya—tepatnya 23 provinsi—mencatat kinerja di bawah rata-rata nasional (52,38%). Bahkan, 16 provinsi masih di bawah 50%.

Artinya, sebagian besar daerah belum menunjukkan progres yang menggembirakan dalam pelaksanaan anggaran. Padahal, pada triwulan III, seharusnya mesin belanja pemerintah daerah sudah bekerja lebih cepat.

Kalau ditelisik lebih dalam lagi berdasarkan jenis belanja, situasinya makin jelas. Secara nasional, belanja modal—yang digunakan untuk membangun jalan, jembatan, fasilitas publik, dan sarana ekonomi lainnya—hanya 29,13%.

Di tingkat provinsi, angka tertinggi 40,96%, dan hanya satu provinsi yang bisa menembus angka 40%. Yang paling rendah bahkan hanya 15,87%. Dari 38 provinsi itu, sebanyak 25 provinsi memiliki kinerja belanja modal di bawah rata-rata nasional.

Jadi, apa maknanya? Satu kesimpulan sederhana: belanja daerah masih menumpuk di akhir tahun. Fenomena ini bukan hal baru. Setiap tahun, pola yang sama berulang. Awal tahun sibuk dengan perencanaan, pertengahan tahun lamban dalam pelaksanaan, dan menjelang akhir tahun baru dikejar-kejar realisasi.

Proyek-proyek baru digarap di bulan November atau Desember, dikebut agar anggaran terserap. Tak jarang, hasilnya jauh dari optimal—entah karena kualitas pekerjaan menurun, atau karena pelaksanaan yang terburu-buru.

Ada banyak penyebab mengapa hal ini terus terjadi. Pertama, proses perencanaan yang tidak matang. Banyak daerah yang terlambat menyelesaikan dokumen pelaksanaan anggaran (DPA), bahkan setelah tahun anggaran berjalan. Akibatnya, kegiatan baru bisa dimulai di pertengahan tahun.

Kedua, proses pengadaan barang dan jasa yang lambat dan birokratis. Meski sistem e-procurement sudah diterapkan, tahapan administrasi tetap panjang. Tak jarang, lelang gagal karena peserta tidak memenuhi syarat, dan prosesnya harus diulang.

Ketiga, faktor kehati-hatian yang berlebihan. Setelah berbagai kasus hukum menjerat pejabat daerah karena persoalan administrasi keuangan, banyak pejabat kini lebih memilih “aman” daripada “cepat”. Akibatnya, belanja ditunda-tunda, dan realisasi tertahan di akhir tahun.

Padahal, dari sisi ekonomi, penyerapan anggaran pemerintah adalah salah satu motor penggerak utama. Ketika belanja daerah rendah, perputaran uang di masyarakat ikut melemah. Proyek tidak jalan, pekerja tidak terserap, konsumsi masyarakat turun.

Belanja publik seharusnya bisa menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi daerah, bukan justru menjadi angka statis di laporan keuangan.

Pemerintah pusat sebenarnya sudah berulang kali mengingatkan soal ini. Setiap tahun, Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri mendorong percepatan realisasi APBD. Namun, tampaknya imbauan itu belum cukup menggugah perubahan di lapangan.

Maka, jika melihat data realisasi hingga triwulan III tahun ini, kita tidak bisa menutup mata: mayoritas daerah masih belum efisien dalam mengelola belanja publiknya. Transparansi data di portal DJPK memang membuka akses bagi publik untuk melihat kinerjanya, tetapi transparansi tanpa akuntabilitas hanya akan melahirkan keterbukaan tanpa perubahan.

Selama pola ini tidak berubah, cerita klasiknya akan terus berulang: realisasi rendah di awal tahun, menumpuk di akhir tahun, lalu semua berpacu dengan waktu demi mengejar angka serapan. Anggaran terserap, ya. Tapi efektivitasnya? Belum tentu. Dan pada akhirnya, publik pun kembali bisa menebak akhir ceritanya: belanja APBD masih menumpuk di penghujung tahun.

https://nasional.kompas.com/read/2025/11/02/13524431/belanja-apbd-yang-selalu-menumpuk-di-akhir-tahun

Bagikan artikel ini melalui
Oke