Seperti ditegaskan Prof. Gun Gun Heryanto (Guru Besar Ilmu Komunikasi Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dalam bukunya Realitas Komunikasi Politik Indonesia Kontemporer (2022), komunikasi politik idealnya berfungsi sebagai “jembatan makna” atau bridge of meaning yang menghubungkan realitas masyarakat dengan kebijakan publik.
Dalam pandangan beliau, kualitas demokrasi sangat ditentukan oleh sejauh mana komunikasi mampu menghadirkan kedekatan makna, bukan jarak sosial antara penguasa dan warga negara.
Gun Gun dalam kajian lain juga menyoroti pola komunikasi politik di Indonesia yang kerap menjelma menjadi “drama elite”.
Fenomena ini sejalan dengan analisis dramaturgi dari Erving Goffman (1959), yang menggambarkan bagaimana aktor politik memainkan peran berbeda di panggung depan (front stage), yakni saat tampil di hadapan publik dan panggung belakang (back stage) ketika berada dalam ruang internal kekuasaan.
Dalam konteks ini, komunikasi politik sering kali bukanlah cerminan murni dari kepentingan publik, melainkan pertunjukan untuk mempertahankan citra, sekaligus mengelola persepsi.
Paradoks inilah yang menandai wajah komunikasi politik Indonesia: antara panggung representasi dan realitas aspirasi yang kerap tidak berjumpa, di mana retorika politik lebih tampil sebagai pertunjukan di panggung kekuasaan daripada sarana menyerap aspirasi publik.
Dalam teori komunikasi politik, legitimasi pemerintah dibangun bukan hanya melalui kebijakan, melainkan juga melalui discursive practice, yaitu praktik berbahasa yang meyakinkan publik bahwa pejabat hadir untuk mendengar, memahami, dan melayani.
Ketika bahasa justru melukai, maka komunikasi berubah menjadi sumber krisis.
Baca juga: Asal Anggota DPR Bahagia
Fenomena ini dapat memperdalam ketidakpercayaan publik terhadap lembaga politik. Demokrasi kehilangan ruhnya ketika rakyat tidak lagi melihat wakilnya sebagai representasi, melainkan sebagai kelas sosial yang hidup di menara gading.
Solusi dari persoalan ini bukan sekadar meminta pejabat berhati-hati dalam berbicara. Lebih mendasar, diperlukan transformasi menuju komunikasi inklusif: komunikasi yang mengedepankan empati, keterhubungan, dan kesadaran posisi.
Seorang pejabat publik harus menempatkan dirinya sebagai bagian dari rakyat, bukan penguasa atas rakyat.
Dalam praktiknya, komunikasi inklusif tercermin melalui penggunaan bahasa yang mudah dipahami publik, disampaikan dengan empati terhadap kesulitan rakyat.
Pejabat publik perlu menyerap aspirasi masyarakat sebagai masukan berharga bagi kebijakan, bukan melihatnya sebagai ancaman.
Lebih jauh, kritik seharusnya dihargai sebagai energi demokrasi yang konstruktif, bukan diposisikan sebagai serangan pribadi.
Baca juga: Ketimpangan dan Polarisasi Akar Masalah Demonstrasi
Kualitas demokrasi Indonesia tidak hanya ditentukan oleh pemilu, jumlah kursi di parlemen, atau besarnya anggaran negara. Demokrasi ditentukan pula oleh seberapa bijak para pemimpinnya menggunakan bahasa.
Sebab dalam politik, kata-kata bukan sekadar bunyi; ia adalah kuasa, representasi, sekaligus pertaruhan legitimasi.
Jika bahasa politik terus dipenuhi arogansi, maka jurang ketidakpercayaan akan semakin dalam.
Sebaliknya, jika pejabat publik berani menempuh jalan komunikasi inklusif, barulah rakyat dapat benar-benar merasakan bahwa mereka memiliki wakil yang berpikir dan berbicara dengan perspektif kerakyatan.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini