Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof Raymond Tjandrawinata
Dosen dan Peneliti

Profesor di Unika Atmajaya, Full Member Sigma Xi, The Scientific Research Honor Society, Magister Hukum di IBLAM School of Law dan Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan

Politik sebagai Konten: Transformasi Gerakan Sosial di Era Digital

Kompas.com - 08/09/2025, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Hal ini membutuhkan kerja sama antara influenser digital dengan aktivis LSM, akademisi, dan praktisi hukum.

Jika gerakan digital hanya berhenti pada “konten yang indah”, maka ia akan hilang bersama arus timeline. Namun, jika ia berhasil membentuk aliansi dengan struktur yang lebih berjangka panjang, maka ia dapat menjadi katalis perubahan nyata.

Pengalaman BLM yang mendorong reformasi kepolisian, atau Fridays for Future yang memaksa isu iklim masuk agenda politik, menunjukkan bahwa hal ini mungkin dilakukan.

Maka, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menggabungkan kekuatan viralitas dengan ketahanan institusional.

Habermas mengingatkan bahwa ruang publik harus menghasilkan diskursus rasional, bukan hanya pertukaran opini emosional.

Tantangannya adalah bagaimana membuat konten digital yang bukan hanya estetis, tetapi juga menyajikan argumentasi rasional yang bisa masuk ke ranah kebijakan.

Di sinilah peran akademisi dan intelektual publik sangat penting. Mereka dapat menjadi jembatan antara konten digital yang viral dengan substansi kebijakan yang kompleks.

Antonio Gramsci pernah menulis tentang pentingnya “intelektual organik” yang terhubung dengan rakyat.

Dalam era digital, intelektual organik mungkin adalah mereka yang mampu menulis, berbicara, dan menyajikan analisis di media sosial tanpa kehilangan kedalaman.

Akhirnya, kita melihat bahwa politik sebagai konten adalah gejala zaman yang tidak bisa diabaikan.

Ia lahir dari perubahan struktur komunikasi global, dari media cetak ke televisi hingga media sosial. Ia memperlihatkan kreativitas rakyat dalam menyuarakan aspirasi.

Ia juga menunjukkan keterbatasan, karena viralitas tidak selalu berarti keberlanjutan. Namun, justru dalam ketegangan itulah demokrasi diuji.

Apakah ia akan mampu menyerap energi digital menjadi reformasi nyata, ataukah ia akan membiarkan energi itu hilang begitu saja.

Baca juga: Kemiskinan Karakter di Tengah Agenda Kesejahteraan Sosial

 

Masa depan demokrasi Indonesia, dan mungkin demokrasi global, sangat ditentukan oleh bagaimana kita menjawab pertanyaan itu.

Gerakan 17+8, dengan semua simbol, warna, angka, dan viralitasnya, adalah cermin dari era baru politik. Ia menunjukkan potensi sekaligus risiko.

Ia adalah tanda bahwa politik kini harus dipahami bukan hanya sebagai keputusan di ruang sidang, tetapi juga sebagai konten yang viral di layar ponsel.

Dan jika kita menutup refleksi panjang ini, jelas bahwa 17+8 bukan sekadar episode sesaat, melainkan momen penting yang menandai pergeseran paradigma.

Ia membuat kita menyadari bahwa generasi digital menemukan cara baru untuk berbicara, memprotes, dan menuntut. Kita tidak bisa menolaknya, karena ini adalah bahasa politik zaman ini.

Tantangan kita adalah memastikan bahwa bahasa baru ini tidak berhenti sebagai gaya visual, melainkan menjadi jalan menuju perubahan substantif.

Demokrasi yang sehat hanya mungkin jika energi viral di dunia maya menemukan perwujudannya di dunia nyata. Dan perjalanan itu baru saja dimulai.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau