
TERPILIHNYA Sanae Takaichi sebagai perdana menteri perempuan pertama Jepang bukan hanya peristiwa politik biasa, tetapi juga refleksi perubahan arah politik Asia Timur yang semakin bergeser ke zona konservatif kanan.
Di tengah stagnasi demokrasi liberal dan meningkatnya politik identitas di Jepang, kemunculan Takaichi menunjukan bahwa peta kekuasaan di negeri Sakura ini sedang memasuki babak baru.
Semakin kentalnya warna ideologis lebih dihargai ketimbang "kehalusan" diplomasi ala dunia timur pascaperang dunia kedua.
Takaichi sering dijuluki "Iron Lady"-nya Jepang, bukan semata karena gendernya, tetapi karena gaya kepemimpinannya yang keras, cenderung dingin, dan konsisten membela nilai-nilai nasionalisme tradisional Jepang di tengah tekanan globalisasi dan perubahan sosial yang semakin hari nyatanya semakin dinamis.
Perjalanan politik Sanae Takaichi memang mencerminkan ketekunan dan ambisi yang jarang dimiliki politisi perempuan di Jepang selama ini.
Ia memulai kariernya benar-benar dari bawah, lalu menembus dunia politik yang sangat maskulin dan hierarkis ala Jepang.
Setelah beberapa kali gagal memenangkan kursi penting dalam Partai Demokrat Liberal (LDP), ia justru semakin konsisten berjuang tanpa mengubah haluan ideologisnya sedikitpun.
Baca juga: Soeharto, Pahlawan Bangsa Pemaaf
Dengan sistem politik Jepang yang sarat patronase, keteguhannya pada pandangan nasionalis membuatnya mendapat tempat khusus di kalangan sayap kanan partai, terutama di bawah pengaruh almarhum Shinzo Abe, perdana menteri Jepang selama 4 periode, menjadikannya sebagai perdana menteri dengan masa jabatan terlama sepanjang sejarah Jepang.
Hubungannya dengan PM Abe yang tewas dibunuh bukan hanya hubungan politik, tetapi juga ideologis.
Takaichi menyerap banyak nilai dan pelajaran dari Abe tentang pentingnya memperkuat pertahanan nasional, menghidupkan kembali kebanggaan terhadap masa lalu Jepang, dan menolak pandangan sejarah yang dianggap terlalu menyalahkan negeri Sakura tersebut atas perang di masa lalu (Perang Dunia II).
Sebagaimana analisis K?ji Nakakita dalam bukunya “The Liberal Democratic Party of Japan: The Realities of Power” (2020), kekuasaan di dalam LDP memang tidak hanya ditentukan oleh posisi formal, tetapi juga oleh keseimbangan antar faksi yang berakar dalam sistem patronase khas Jepang.
Mekanisme ini menciptakan stabilitas politik jangka panjang yang memungkinkan tokoh-tokoh konservatif seperti Takaichi untuk bertahan, bahkan ketika pandangan mereka kerap memicu kontroversi publik.
Dalam struktur seperti ini, kesetiaan dan kesinambungan lebih dihargai daripada inovasi, sehingga Takaichi menjadi simbol dari kontinuitas ideologis partai yang telah dibentuk sejak era PM Abe.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana LDP beroperasi melalui apa yang disebut oleh Nakakita sebagai “adaptive hegemony”, kekuasaan yang terkesan lentur, tapi tetap terpusat.
Takaichi memanfaatkan ruang adaptif ini dengan menyesuaikan diri terhadap sistem patriarkal tanpa mengusik fondasinya.
Ia menjadi bagian dari mekanisme kekuasaan yang lebih besar, di mana legitimasi politik perempuan diperoleh bukan karena reformasi struktural, melainkan karena kemampuan untuk beradaptasi dengan tradisi kekuasaan maskulin yang telah mengakar dalam dan lama di dalam partai politik.
Karena itu, dari sisi pandangan politik, Takaichi juga berada pada sisi yang sama dengan tokoh-tokoh konservatif lama Jepang selama ini. Menurutnya, Jepang harus berdiri kembali sebagai bangsa yang kuat secara militer dan spiritual.
Ia dengan terbuka menyatakan dukungan terhadap amandemen Pasal 9 konstitusi negeri Sakura yang membatasi Jepang di dalam memiliki kekuatan militer untuk kepentingan ofensif.
Takaichi terpantau juga sering berkunjung ke Kuil Yasukuni; kuil Shinto di Chiyoda, Tokyo, simbol nasionalisme dan kontroversi sejarah Jepang di mata dunia, sebuah langkah yang memancing kemarahan China dan Korea Selatan, tetapi seiring dengan itu juga menuai pujian dari kelompok konservatif domestik.
Baca juga: Purbaya, Perisai Politik Kabinet Gemuk Prabowo
Sikapnya yang tidak goyah dalam isu-isu ini menegaskan karakter seorang politisi yang tidak mencari popularitas publik, melainkan memperjuangkan keyakinan ideologis yang ia yakini sejak awal perjuangan politiknya.
Karakter keras ini membuatnya sering dibandingkan dengan Margaret Thatcher, perdana menteri perempuan Inggris yang dikenal tegas dan sangat antikomunis di tengah era Perang Dingin beberapa dekade lalu.