Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Haris Hasibuan
Antropolog

Haris Hasibuan adalah seorang antropolog yang gemar mengamati bagaimana manusia membentuk, mempertahankan, dan merespons budaya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan latar belakang penelitian di bidang Masyarakat Urban, percaya bahwa memahami keragaman cara hidup adalah kunci untuk membangun dialog yang lebih inklusif. Saat tidak sedang menulis atau melakukan penelitian lapangan, ia senang berbagi pemikiran melalui tulisan populer yang menjembatani dunia akademik dan publik.

RUU Masyarakat Adat: Mengembalikan Nurani Negara

Kompas.com - 30/10/2025, 08:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

DI banyak pelosok Indonesia, dari hutan Sumatera hingga lembah di Tanah Papua, masih terdengar suara yang jarang didengar negara: suara masyarakat adat yang menuntut diakui, bukan dikasihani.

Mereka menjaga hutan bukan karena diperintah undang-undang, melainkan karena di sana bersemayam arwah leluhur dan sumber kehidupan. Mereka menghormati sungai bukan karena ancaman sanksi, tetapi karena sungai adalah darah yang mengalirkan kehidupan. Dalam diam mereka, tersimpan hikmah yang lebih tua dari republik ini bahwa alam dan manusia adalah satu tubuh. Namun, suara itu lama terpinggirkan oleh gemuruh pembangunan yang bising.

Dalam pusaran kebijakan dan proyek-proyek besar, masyarakat adat sering kali dicap menjadi “pengganggu”, tanah mereka ditandai sebagai “kawasan negara”, dan hutan mereka dijadikan “komoditas ekonomi”. Negara yang seharusnya menjadi pelindung berubah menjadi pihak yang menafsir adat dengan kacamata birokrasi.

Baca juga: Tanah Ulayat dan Masyarakat Adat yang Terpinggirkan

RUU Masyarakat Adat yang seharusnya menjadi jembatan pengakuan justru terus terkatung-katung di Senayan lebih dari satu dekade dalam daftar tunggu yang tak kunjung selesai. Kita sedang menyaksikan tragedi yang berlangsung diam-diam. Setiap tahun penundaan RUU ini berarti satu lagi komunitas kehilangan rumahnya. Setiap hari keterlambatan pembahasan berarti satu lagi pengetahuan lokal hilang tanpa sempat diwariskan.

Dalam pasal-pasal yang belum disahkan itu, sesungguhnya sedang berlangsung pelapukan nurani negara ketika pengakuan atas martabat manusia ditunda atas nama kepentingan ekonomi. Antropologi mengajarkan kita bahwa masyarakat adat bukan sisa masa lalu, melainkan bagian dari denyut kebudayaan yang menjaga keseimbangan bangsa.

Clifford Geertz menyebut kebudayaan sebagai web of meaning jejaring makna yang menuntun manusia memahami dunianya. Dalam jejaring itu, masyarakat adat menyusun kehidupan bukan berdasar pada akumulasi, tetapi pada keberlanjutan. Mereka hidup dalam logika timbal balik, bukan eksploitasi; dalam rasa hormat, bukan dominasi.

Namun, bahasa negara sering kali gagal memahami logika itu. Negara lebih fasih berbicara dalam terminologi “optimalisasi lahan”, “efisiensi sumber daya”, dan “pembangunan berkelanjutan” semua istilah yang indah di atas kertas, tapi sering berarti perampasan dalam praktiknya.

Baca juga: Putusan MK: Oase Keadilan bagi Masyarakat Adat

James C. Scott dalam Seeing Like a State menulis bahwa negara modern cenderung menyederhanakan dunia agar mudah diatur: membuat peta, menata data, dan menaklukkan kompleksitas menjadi skema. Dalam proses itu, yang tak terpetakan dianggap tak ada; yang tak terukur dianggap tak penting. Di situlah masyarakat adat hilang dari pandangan negara bukan karena punah, tetapi karena dihapus dari sistem penglihatan yang buta pada keragaman.

Padahal konstitusi kita tegas mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.” Tetapi pengakuan konstitusional itu seakan berhenti di halaman pembukaan undang-undang dasar, tanpa pernah menemukan bentuk operasional yang melindungi.

RUU Masyarakat Adat seharusnya menjadi jembatan antara ideal konstitusi dan kenyataan sosial. Ia bukan hanya produk hukum, tapi juga pengakuan moral: bahwa negara berhutang kepada sejarahnya sendiri. Dalam kerangka pluralisme hukum seperti dijelaskan oleh John Griffiths, sistem hukum tidak pernah tunggal. Hukum adat adalah sistem moral dan sosial yang lahir dari kesepakatan komunitas dan pengalaman hidup mereka.

Mengakui hukum adat berarti mengakui bahwa negara bukan satu-satunya sumber kebenaran hukum, melainkan bagian dari mosaik yang lebih besar. Dengan kata lain, mengesahkan RUU Masyarakat Adat bukan berarti melemahkan negara, tetapi justru memperdalam kemanusiaannya.

Baca juga: Nasib Masyarakat Adat di Indonesia dan Amerika Latin Punya Banyak Kesamaan

Kini, ketika dunia sedang dihadapkan pada krisis iklim, kearifan masyarakat adat menjadi pelajaran paling berharga. Mereka menjaga hutan dengan prinsip take only what you need, mengatur musim tanam dengan keseimbangan alam, dan menolak eksploitasi dengan keyakinan spiritual. Dalam dunia yang serakah, mereka menjadi pengingat: bahwa kemajuan tanpa keseimbangan hanya akan menumbuhkan kehancuran.

Ironisnya, justru mereka yang menjaga bumi paling tulus itu yang pertama kali dikorbankan atas nama pembangunan. Karena itu, pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan sekadar urusan administrasi legislasi. Ia adalah ujian moral bagi negara: apakah kita masih memiliki nurani untuk mendengar mereka yang paling sunyi.

Terlalu lama negara menunda dengan alasan “harmonisasi regulasi” atau “koordinasi antar lembaga”. Tetapi sesungguhnya yang kurang bukan koordinasi, melainkan keberanian, keberanian untuk berpihak pada kemanusiaan di atas kepentingan modal. Kita tidak sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengesahkan undang-undang ini. Kita sedang kehilangan waktu yang seharusnya digunakan untuk menegakkan keadilan.

Baca juga: Proyek Strategis vs Masyarakat Adat, Kemenhut Akui Rumit

Setiap hari yang berlalu tanpa perlindungan hukum berarti satu langkah lebih jauh dari cita-cita keadilan sosial. Setiap penundaan adalah bentuk kekerasan yang halus, kekerasan dalam bentuk pengabaian. Pemerintah dan DPR harus berhenti berdalih. Mereka harus mendengar suara yang telah lama dipinggirkan dan segera menuntaskan pembahasan serta pengesahan RUU Masyarakat Adat.

Ini bukan hanya tanggung jawab politik, tetapi juga tanggung jawab moral untuk mengembalikan nurani negara kepada rakyatnya sendiri. Bangsa yang besar tidak hanya diukur dari seberapa tinggi gedung yang ia bangun, tetapi dari seberapa rendah ia menunduk kepada akar yang menopangnya. Masyarakat adat adalah akar itu akar yang menjaga bumi, menyalakan ingatan, dan meneguhkan kemanusiaan kita. Dan jika negara terus menunda pengakuan atas mereka, maka yang benar-benar hilang bukan sekadar tanah adat, melainkan nurani bangsa itu sendiri.

Baca juga: Ke PBB, Masyarakat Adat Desak Pemulihan Hak atas Wilayah Leluhur

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau