DI TENGAH derasnya arus investasi dan regulasi yang kerap menyingkirkan ruang hidup masyarakat adat, Mahkamah Konstitusi menghadirkan secercah keadilan.
Dalam Putusan Nomor 181/PUU-XXII/2024, MK menegaskan bahwa larangan berkebun di kawasan hutan “tidak berlaku bagi masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.” (Mahkamah Konstitusi, 2025).
Kalimat tersebut tampak sederhana, tetapi maknanya mendalam: negara mengakui bahwa hidup dan bertani di tanah leluhur bukanlah pelanggaran hukum, melainkan bagian dari hak konstitusional untuk mempertahankan kehidupan yang bermartabat.
Baca juga: Putusan MK: Masyarakat Adat Tak Perlu Izin ke Pemerintah Buka Kebun di Hutan
Di tengah logika hukum yang sering berpihak pada korporasi, putusan ini menjadi penanda penting bahwa hukum dapat kembali berpihak pada rakyat kecil yang selama ini dituduh “melanggar” hanya karena bertahan hidup di tanah sendiri.
Putusan ini tidak lahir dalam ruang hampa; melainkan menjadi koreksi atas pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja yang semula menutup ruang hidup masyarakat adat dengan dalih “perizinan berusaha”.
Selama bertahun-tahun, masyarakat adat kerap dikriminalisasi atas aktivitas pertanian atau perkebunan yang dilakukan jauh sebelum negara hadir mengatur kawasan hutan.
Dengan menegaskan pengecualian bagi masyarakat yang hidup turun-temurun dan tidak berorientasi komersial, MK menegaskan bahwa asas kemanusiaan dan keadilan sosial harus menjadi fondasi hukum kehutanan, bukan sekadar kepastian administratif.
Ini sejalan dengan semangat Putusan MK No. 95/PUU-XII/2014, yang lebih dahulu mengakui keberadaan masyarakat adat sebagai subjek hukum yang berhak atas ruang hidupnya.
Pun, keputusan ini juga merupakan kritik terhadap paradigma pembangunan yang menempatkan hutan semata sebagai objek ekonomi.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengingatkan bahwa kegiatan masyarakat adat dalam hutan adalah bagian dari pemenuhan kebutuhan dasar—“sandang, pangan, dan papan untuk kebutuhan sehari-hari”, bukan untuk keuntungan komersial.
Di sinilah letak nilai etik putusan ini: MK tidak sedang memberi “izin baru”, melainkan mengembalikan hak yang telah lama dirampas oleh mekanisme perizinan negara.
Dalam lanskap hukum yang sering gersang oleh keadilan ekologis, putusan ini hadir sebagai oase—memberi napas segar bagi prinsip kemanusiaan, konstitusionalitas, dan keberlanjutan hidup di tanah yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Putusan MK Nomor 181/PUU-XXII/2024 ini mengingatkan bahwa hukum tidak cukup berhenti pada legalitas formal, tetapi juga harus memiliki legitimasi sosial.
Legalitas hanya berbicara tentang apa yang tertulis dalam undang-undang, sedangkan legitimasi muncul ketika masyarakat merasa hukum itu adil.
Baca juga: Kriminalisasi Masyarakat Adat Maba Sangaji dan Gagalnya Negara Menegakkan HAM
Selama ini negara lebih sibuk mengatur izin ketimbang memahami hakikat hubungan masyarakat adat dengan hutan—hubungan yang bersifat kultural, spiritual, dan ekologis, bukan semata ekonomi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya