Tentu, putusan ini juga menjadi momentum reflektif bagi paradigma pembangunan nasional. Selama ini, pembangunan sering diukur dari pertumbuhan ekonomi, sementara dimensi sosial-budaya dan ekologis masyarakat adat terpinggirkan.
Padahal, masyarakat adat memiliki sistem pengetahuan dan tata kelola hutan yang jauh lebih lestari dibanding model eksploitasi berbasis investasi.
Dengan menghormati hak adat, negara sesungguhnya sedang berinvestasi pada keberlanjutan ekologi dan harmoni sosial jangka panjang.
Maka, Putusan MK Nomor 181/PUU-XXII/2024 harus dibaca bukan sekadar sebagai koreksi terhadap kesalahan hukum administratif, melainkan sebagai manifestasi keberpihakan konstitusi kepada kemanusiaan dan keadilan ekologis.
Putusan a quo adalah pengingat bahwa hukum yang adil bukan hanya yang melindungi modal, tetapi juga yang menjaga kehidupan—baik manusia maupun alam.
Jika negara sungguh-sungguh menindaklanjuti semangat putusan ini, maka kita tidak hanya menyaksikan “oase keadilan” yang menyejukkan sesaat, tetapi kebangkitan etika hukum yang berpihak pada rakyat dan keberlanjutan bumi.
Sebab, keadilan sejati bagi masyarakat adat bukanlah pemberian, melainkan pengakuan atas hak yang telah lama melekat sejak sebelum negara berdiri.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya