Ketika aspek ini diabaikan, yang hilang bukan hanya hak atas tanah, tetapi juga hak atas kehidupan dan martabat.
Mahkamah Konstitusi tampaknya menyadari hal itu. Dengan menafsirkan ulang pasal-pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja, MK membedakan dengan jelas antara perizinan usaha dan hak hidup adat.
Ini menunjukkan keberanian konstitusional untuk menempatkan manusia di atas mekanisme administratif.
Sikap MK tersebut sejatinya sejalan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI NRI 1945, yang menegaskan pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Juga sejalan dengan prinsip Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) Pasal 26 ayat (1) yang menyebutkan bahwa masyarakat adat memiliki hak atas tanah dan sumber daya yang secara tradisional mereka kuasai dan gunakan.
Dari perspektif hak asasi manusia, putusan ini merupakan wujud nyata dari prinsip keadilan ekologis. MK dengan demikian mengembalikan orientasi hukum kepada manusia dan alam, bukan semata kepada kepentingan investasi.
Ini menjadi contoh bagaimana hukum dapat hidup kembali—bukan hanya di buku undang-undang, tetapi juga di tengah masyarakat yang selama ini berada di pinggir sistem hukum.
Kendati demikian, sebagaimana banyak putusan progresif lainnya, tantangan terbesar bukanlah pada teks putusannya, melainkan pada implementasinya.
Pengakuan yuridis atas hak masyarakat adat tidak serta-merta menghapus diskriminasi struktural yang telah mengakar.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa tumpang tindih klaim kawasan hutan, lemahnya pengakuan wilayah adat oleh pemerintah daerah, dan tekanan dari kepentingan korporasi masih menjadi batu sandungan utama.
Banyak pemerintah daerah belum memiliki political will untuk menindaklanjuti mandat konstitusional ini melalui penetapan wilayah adat yang sah secara hukum.
Selain itu, ketidakharmonisan antara peraturan sektoral—seperti Undang-Undang Kehutanan, Peraturan Pemerintah tentang Perhutanan Sosial, dan pelbagai regulasi turunan Cipta Kerja—sering kali menimbulkan ambiguitas implementatif.
Baca juga: Ammar Zoni Perlu Dilindungi
Akibatnya, masyarakat adat masih berada dalam posisi rentan terhadap kriminalisasi, bahkan setelah putusan MK ini. Padahal, semangat putusan tersebut jelas: menempatkan hak hidup masyarakat adat di atas kepentingan administratif yang kaku.
Dalam hal inilah, peran negara harus bergeser dari sekadar “mengatur” menjadi “melindungi”. Negara tidak cukup berhenti pada retorika pengakuan, melainkan harus memastikan perlindungan faktual melalui kebijakan turunan, pembentukan peraturan pelaksana, hingga pengawasan ketat terhadap aparat birokrasi dan penegak hukum.
MK telah membuka jalan; kini tanggung jawab berpindah ke pemerintah untuk menapakinya dengan konsisten.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya