
VONIS terhadap sebelas warga masyarakat adat Maba Sangaji di Halmahera Timur menandai babak kelam bagi penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Mereka dijatuhi hukuman penjara karena mempertahankan tanah leluhur dan menolak perusakan hutan adat yang menjadi sumber kehidupan.
Seperti dikutip Tempo.co, Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, menjatuhkan vonis penjara 5 bulan dan 8 hari terhadap 11 warga adat Maba Sangaji. Mereka dinyatakan bersalah menghalangi aktivitas tambang nikel.
Kriminalisasi ini sejatinya bukan sekadar perkara hukum, tetapi bukti nyata bagaimana negara lebih memilih berpihak pada kepentingan industri ekstraktif daripada pada rakyat yang menjaga alamnya.
Di ruang sidang, nurani hukum tampak beku—seolah keadilan bisa ditukar dengan kepentingan modal.
Amnesty International Indonesia (2025) mencatat bahwa sepanjang 2019–2024 terdapat sedikitnya 111 masyarakat adat di Indonesia menjadi korban serangan dan kriminalisasi akibat memperjuangkan ruang hidup mereka.
Kasus Maba Sangaji memperpanjang daftar itu: aparat bersenjata menangkap warga yang sedang melakukan ritual adat secara damai, lalu menahan sebelas orang tanpa pendampingan hukum yang layak.
Proses hukum dijalankan secara tergesa, penuh intimidasi, dan mengabaikan prinsip keadilan prosedural. Ketika pembela lingkungan dijadikan tersangka, kita menyaksikan negara yang menindak warganya sendiri atas nama hukum.
Kriminalisasi terhadap warga Maba Sangaji memperlihatkan kegagalan negara dalam memenuhi mandat hukum HAM, baik yang bersumber dari hukum nasional maupun hukum internasional.
Secara normatif, pelindungan terhadap hak-hak masyarakat adat dan pembela lingkungan hidup sudah diakui secara eksplisit, tetapi dalam praktiknya negara justru melanggarnya secara sistemik.
Secara nasional, UUD NRI 1945 Pasal 28I ayat (4) menegaskan bahwa pelindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Artinya, setiap tindakan aparat negara yang mengakibatkan pelanggaran terhadap hak dasar warga merupakan bentuk pengingkaran terhadap konstitusi.
Dalam hal ini, warga Maba Sangaji memiliki hak untuk hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 dan diperjelas dalam Pasal 65 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Norma ini menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pelindungan lingkungan tanpa takut dikriminalisasi.
Namun, realitas hukum menunjukkan hal sebaliknya. Negara menggunakan Pasal 162 Undang-Undang Minerba sebagai alat untuk menjerat warga yang menyuarakan haknya atas lingkungan hidup.