KAMPUS seharusnya menjadi taman ilmu dan akal sehat, tempat mahasiswa tumbuh sebagai insan yang berpikir, berempati, dan beradab. Namun nurani itu runtuh di Universitas Udayana.
Pada Rabu pagi, 15 Oktober 2025, Timothy Anugrah Saputra—mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)—ditemukan meninggal setelah jatuh dari gedung fakultasnya di Kampus Sudirman, Denpasar.
Kabar duka itu segera menjalar di media sosial, disusul kemarahan publik setelah tangkapan layar grup percakapan mahasiswa beredar, menampilkan ejekan terhadap korban yang baru saja pergi.
Dari ruang yang semestinya mencerdaskan, lahir kata-kata yang melukai. Dari menara gading, justru muncul suara sinis yang menusuk kemanusiaan.
Ia seolah dibunuh dua kali: pertama oleh tekanan yang tak terlihat, kedua oleh candaan yang kehilangan rasa.
Tragedi Timothy menjadi cermin kelam: bahwa perundungan bukan hanya tindakan fisik, tetapi juga kekerasan verbal dan digital yang merobek martabat manusia.
Baca juga: Timothy dan Alarm Bully yang Tak Pernah Dimatikan
Universitas Udayana sejatinya telah memiliki perangkat hukum internal. Peraturan Rektor Nomor 12 Tahun 2021 mengatur tentang Pencegahan dan Penanganan Perundungan dan Kekerasan Seksual, dan kampus telah membentuk Satuan Tugas PPKS sebagai implementasi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021.
Kebijakan ini menjadi bukti bahwa kampus memahami tanggung jawab hukumnya sebagai lembaga publik yang wajib melindungi mahasiswa dari kekerasan dalam bentuk apa pun.
Namun, regulasi tanpa implementasi hanyalah teks. Di lapangan, hukum kampus sering berhenti pada papan pengumuman dan seremonial.
Tidak ada sistem yang benar-benar mampu mendeteksi tekanan psikologis, memantau dinamika organisasi mahasiswa, atau mengawasi ruang digital tempat perundungan kerap terjadi.
Padahal, Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menjamin setiap orang berhak atas perlindungan diri, kehormatan, martabat, serta rasa aman dari ancaman ketakutan.
Universitas sebagai perpanjangan tangan negara dalam dunia pendidikan memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menjamin hak itu.
Ketika kampus gagal memberi perlindungan, maka yang bisu bukan hanya lembaga, tetapi juga hukum yang mestinya berbicara.
Kasus Timothy menguji dua hal mendasar: tanggung jawab moral sivitas akademika dan tanggung jawab hukum lembaga pendidikan.
Kampus adalah miniatur negara hukum: ia memiliki norma, struktur, dan kewenangan untuk menjamin keadilan internal.