
BANJIR pesisir di Semarang kembali menjadi sorotan. Dua hari terakhir, Kompas.com melaporkan genangan air laut dan limpasan hujan yang semakin meluas hingga ke wilayah-wilayah yang sebelumnya jarang terdampak.
Di sejumlah titik seperti Kaligawe, Genuk, dan Tambaklorok, air bertahan berjam-jam, bahkan berhari-hari sebelum surut.
Pompa air yang terbatas dan sistem drainase yang belum optimal membuat air sulit keluar, terutama saat pasang laut tinggi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa banjir pesisir di Semarang bukan lagi peristiwa sesaat, tetapi menjadi masalah struktural yang memerlukan penanganan serius dan terintegrasi.
Kondisi geografis Semarang memang unik sekaligus rentan. Sebagian besar wilayah pesisirnya berada di bawah muka laut saat pasang tinggi.
Baca juga: Perempuan di Jantung Parlemen
Penurunan muka tanah atau land subsidence terus terjadi dengan kecepatan yang mengkhawatirkan, di beberapa tempat mencapai hampir 10 sentimeter per tahun.
Kombinasi antara turunnya permukaan tanah dan naiknya muka laut menjadikan kawasan ini seperti “mangkuk” besar yang menampung air.
Ketika hujan deras turun bersamaan dengan air pasang, genangan pun tidak terhindarkan. Bahkan setelah air laut surut, genangan masih tertahan karena aliran air dari darat tidak bisa mengalir ke laut secara gravitasi alami.
Masalah ini tak bisa diselesaikan hanya dengan menambah tanggul atau memperbanyak pompa. Diperlukan pendekatan yang lebih menyeluruh dalam kerangka tata ruang dan pengelolaan lingkungan.
Kota harus memiliki sistem drainase yang komprehensif—bukan sekadar saluran air, tetapi juga sistem retensi dan penampungan sementara untuk menunda aliran permukaan saat debit meningkat.
Embung-embung baru perlu dibangun di kawasan hulu maupun tengah kota untuk menampung limpasan hujan sebelum mengalir ke daerah rendah.
Kolam retensi dan polder di pesisir dapat berfungsi sebagai penampung sementara banjir rob sebelum air dipompa ke laut. Semua itu harus dirancang sebagai satu sistem terpadu, bukan proyek terpisah.
Selain infrastruktur fisik, pengelolaan berbasis data menjadi kunci utama. Badan Informasi Geospasial (BIG) sebenarnya memiliki aset data yang sangat berharga untuk memantau dinamika pesisir.
Jaringan stasiun pengamatan pasang surut (tide gauge) milik BIG yang tersebar di berbagai titik pesisir Indonesia, termasuk Semarang, dapat digunakan untuk memantau tinggi muka laut secara real time.
Sementara itu, jaringan stasiun GNSS (Global Navigation Satelite System) dan CORS (Continuously Operating Reference Station) dapat memantau pergerakan vertikal tanah dengan ketelitian milimeter.
Baca juga: Whoosh Bukan Investasi Sosial