
KRAMATWATU, kecamatan kecil di Kabupaten Serang, kini jadi potret aktual benturan antara roda industri dan kehidupan warga. Letaknya strategis—penghubung Cilegon, Serang, dan Pelabuhan Bojonegara—tapi justru jadi korban geliat tambang.
Setiap hari, ratusan truk ODOL (Over Dimension Over Loading) melintas membawa pasir dan batu, memilih jalan arteri ketimbang tol demi menghemat biaya. Hasilnya: jalan rusak, debu tambang menyesaki udara, dan kemacetan jadi rutinitas.
Puncak kemarahan warga Kramatwatu meledak pada Oktober 2025. Ratusan orang bersama mahasiswa turun ke jalan, menuntut pemerintah menghentikan truk tambang yang tiap hari merusak jalan dan merampas ketenangan mereka. Desakan itu akhirnya memaksa Gubernur Banten, Andra Soni, turun tangan. Ia memerintahkan semua truk tambang wajib lewat Tol Cilegon Timur, bukan jalur arteri Kramatwatu.
Pemerintah provinsi pun menyiapkan Pergub baru untuk memperketat pengawasan. Walau seperti biasa, kebijakan di atas kertas tak selalu berjalan di lapangan. Padahal, UU Minerba 2020 dan PP No. 96 Tahun 2021 sudah jelas mewajibkan perusahaan tambang memakai jalan khusus, bukan jalan umum, kecuali dengan izin dan jaminan keselamatan warga.
Kenyataannya, Kramatwatu justru jadi bukti lemahnya pengawasan pemerintah. Di balik dalih pembangunan, tambang di wilayah ini menggeser wajah sosial-ekonomi: petani berubah jadi buruh tambang, tapi lingkungan rusak dan ketergantungan ekonomi makin dalam. Pertumbuhan ekonomi tampak hidup, tapi kesejahteraan warga justru menurun, (A. T. Damayanti, 2023).
Aktivitas tambang memang memberi efek ekonomi sesaat—lapangan kerja dan pendapatan—namun juga menciptakan ketergantungan dan memperlebar ketimpangan sosial. Begitu tambang berhenti, warga kehilangan penghidupan lantaran minim keterampilan alternatif. Manfaatnya semu, kerugiannya panjang. Kerusakan jalan, polusi, dan beban kesehatan warga tak pernah masuk hitungan pertumbuhan daerah. Akibatnya, seperti terlihat di Kramatwatu dan kawasan industri Cilegon–Serang, pembangunan berjalan, tapi kualitas hidup justru merosot.
Aturan soal truk ODOL sebenarnya sudah tegas. Sejak 2019, Kementerian Perhubungan menargetkan Indonesia bebas ODOL pada 2023, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 60 Tahun 2019 dan instruksi Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. Kendati di lapangan, pengawasan lemah dan sanksi longgar membuatnya sekadar macan kertas. Sebab bagi masyarakat, bukan cuma soal truk tambang, justru soal hak untuk bernapas dan hidup layak di tanah sendiri.
Baca juga: Warga Geram, Bawa Pentungan Marahi Sopir Truk Tambang di Bogor
Kramatwatu, kecamatan kecil di Kabupaten Serang, kini jadi simpul urgen industri tambang Banten. Letaknya yang strategis—di antara Cilegon, Bojonegara, dan kawasan industri modern Serang—menjadikannya jalur vital keluar-masuk pasir, batu andesit, dan gamping dari galian C di sekitarnya.
Jenis industri yang mendominasi yakni tambang pasir kuarsa, batu andesit, dan sirtu, yang dikategorikan sebagai bahan galian golongan C berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten tahun 2023, subsektor penggalian menyumbang 0,05 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Banten dengan total nilai output mencapai Rp434,62 miliar, sedangkan subsektor pertambangan secara keseluruhan mencapai Rp3,07 triliun, atau sekitar 0,76 persen dari PDRB provinsi.
Meski relatif kecil secara persentase, sektor ini menjadi tulang punggung bahan baku industri lokal dan proyek-proyek infrastruktur di wilayah Banten bagian barat. Ledakan aktivitas tambang dua tahun terakhir membuat jalur arteri Kramatwatu padat oleh ratusan truk pasir dan batu tiap hari. Banyak di antaranya truk ODOL dari Cilegon dan Bojonegara yang mengangkut muatan berlebih menuju pelabuhan atau kawasan industri Serang, memperparah kemacetan dan kerusakan jalan.
Walaupun ada larangan operasional malam, truk masih bebas melintas di jam padat. Gubernur Banten, Andra Soni, memang sudah memerintahkan truk dialihkan ke Tol Cilegon Timur dan menyiapkan Pergub baru soal transportasi tambang. Pernyataan ini sejalan dengan rencana penerbitan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Tata Kelola Transportasi Pertambangan, yang memastikan pentingnya jam operasional terbatas dan pengawasan transportasi lintas kabupaten/kota.
Secara ekonomi, tambang memang berkontribusi bagi Banten. Ribuan pekerja terserap, PAD meningkat, dan roda ekonomi lokal ikut berputar. Tapi manfaat itu tak dirasakan merata. Warga Kramatwatu, yang tak banyak terlibat langsung di sektor tambang, justru menanggung dampaknya—jalan rusak, polusi, dan kemacetan.
Seperti di banyak daerah tambang lain, keuntungan mengalir ke segelintir pelaku besar, sementara biaya sosial dan lingkungan dibebankan pada masyarakat sekitar.
Baca juga: BPS: Kabupaten Serang Sumbang Pengangguran Tertinggi di Banten
Aktivitas truk tambang di Kramatwatu kini jadi cermin bagaimana pembangunan ekonomi bisa mengorbankan kualitas hidup warga. Ratusan truk bertonase berat melintas tiap hari di jalur arteri Serang–Cilegon, meninggalkan jejak: jalan rusak, kebisingan, dan polusi yang menyesaki permukiman.