Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ija Suntana
Dosen

Pengajar pada Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Dedi Mulyadi dan Dilema Donasi Rp 1.000 Per Hari

Kompas.com - 07/10/2025, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

GAGASAN Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tentang penggalangan donasi seribu rupiah per hari dari warga tampak sederhana dan mengandung semangat kebersamaan yang luhur.

Namun, di balik kesan moral yang luhur itu tersembunyi persoalan mendasar yang perlu dicermati secara serius.

Gagasan tersebut harus dicermati dengan hati-hati. Posisikan sebagai seruan moral kemanusiaan, bukan sebagai instrumen formal negara.

Ada batas antara seruan moral dan kebijakan publik. Bila penggalangan donasi semacam itu berubah bentuk menjadi kebijakan pemerintah, maka potensi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum tata negara menjadi tak terhindarkan.

Baca juga: Penyerahan Benda Bersejarah oleh Belanda dan Beban Negara

Negara hanya berwenang menarik pungutan yang memiliki dasar hukum jelas. Dalam sistem hukum Indonesia, Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan dengan tegas, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”

Segala bentuk penarikan uang dari warga negara, baik pajak, retribusi, sumbangan wajib, atau istilah lain, tidak dapat dilakukan tanpa instrumen undang-undang.

Negara tidak boleh membuat mekanisme yang seolah-olah bersifat sukarela, tetapi pada praktiknya menimbulkan makna kewajiban.

Jika hal itu terjadi, maka akan timbul pelanggaran prinsip rule of law, karena pemerintah menjalankan kewenangan yang tidak diberikan oleh hukum.

Perlu kita pahami juga bahwa mengelola donasi rakyat bukanlah fungsi utama negara. Negara tidak dapat menjadi lembaga pengumpul dana amal, karena mandat konstitusionalnya bukan mengatur amal, melainkan menjamin kesejahteraan melalui kebijakan publik yang adil dan efisien.

Menggalang donasi memang bisa menjadi kegiatan yang baik, tetapi itu berada di ranah masyarakat sipil, bukan birokrasi negara.

Lembaga filantropi, ormas keagamaan, yayasan sosial, atau lembaga kemanusiaan yang secara moral dan fungsional berhak melaksanakan itu.

Ketika pemerintah masuk terlalu jauh ke ruang moralitas warga, negara telah menyeberang ke wilayah yang bukan kewenangannya.

Penggalangan dana yang bersifat massal dan rutin, bila disponsori oleh pemerintah, akan menimbulkan persepsi pemaksaan terselubung.

Dalam struktur sosial Indonesia, di mana relasi kuasa antara warga dan aparatur negara sering kali tidak seimbang, himbauan yang datang dari negara mudah berubah menjadi kewajiban sosial yang memaksa.

Seorang guru, pegawai negeri, atau warga desa bisa merasa terpaksa menyumbang karena takut dianggap tidak nasionalis atau tidak punya kepedulian.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau