Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Maman Silaban
Konsultan Individu

Aktivis dan peneliti; Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, IPB University.

Pajak, Plat, dan Ekologi: Logika Eksternalitas di Balik Kebijakan Gubernur Bobby

Kompas.com - 07/10/2025, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAYA lahir dan besar di Medan. Sejak kecil, jalan lintas Medan-Binjai-Langkat adalah pemandangan harian saya: berderet truk-truk besar, banyak di antaranya berplat BL dari Aceh.

Setiap tahun, kondisi jalan itu kian memburuk, aspal mengelupas, lubang di mana-mana, dan debu makin tebal.

Saya tidak menulis ini karena pro pada Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution. Saya menulis sebagai warga Sumut yang melihat ketimpangan logika fiskal di jalanan sendiri.

Kendaraan yang menimbulkan kerusakan dan polusi di wilayah ini justru membayar pajaknya ke provinsi lain.

Bagi saya, ini bukan soal plat atau sentimen daerah. Ini soal tanggung jawab eksternalitas. Setiap aktivitas ekonomi, terutama yang menggunakan infrastruktur publik dan menghasilkan dampak lingkungan, semestinya menyumbang kembali kepada wilayah yang menanggung akibatnya. Dalam hal ini, Sumatera Utara.

Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) menegaskan bahwa kendaraan bermotor wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, Pasal 9 menjelaskan bahwa dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) mencakup faktor kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.

Baca juga: Bila Gubernur Gagal Paham

Ketentuan ini mengandung filosofi bahwa PKB bukan sekadar pajak atas kepemilikan, tetapi juga mekanisme fiskal untuk menginternalisasi dampak ekologis dari aktivitas transportasi.

Lebih lanjut, Pasal 10 ayat (4) menegaskan bahwa kepemilikan kendaraan bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan (NIK), dan/atau alamat yang sama.

Dengan demikian, lokasi pendaftaran dan pemungutan pajak ditentukan oleh alamat administratif pemilik kendaraan.

Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memperkuat hubungan antara aspek fiskal dan lingkungan.

Pasal 5 ayat (1) menegaskan bahwa dasar pengenaan PKB merupakan hasil perkalian antara nilai jual kendaraan bermotor dan bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.

Klausul ini menjadi bukti yuridis bahwa beban ekologis (kerusakan jalan dan polusi) sudah diinternalisasi dalam struktur pajak kendaraan itu sendiri.

Artinya, PKB secara konseptual memang dirancang untuk menanggung sebagian dari eksternalitas negatif akibat aktivitas kendaraan di wilayah tertentu.

Dengan pemahaman itu, bila kendaraan berplat Aceh (BL) terdaftar di Aceh, tetapi beroperasi di Sumatera Utara, maka pajaknya tetap disetor ke kas Pemerintah Provinsi Aceh.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau