
GELOMBANG penolakan terhadap PT Toba Pulp Lestari (TPL), perusahan produsen bubur kertas mengelola konsensi hutan di 10 (sepuluh) wilayah kabupaten di Sumatera Utara terus meningkat.
Gerakan tuntutan “Tutup TPL” oleh pelbagai elemen menjadi isu populis dengan eskalasi protes yang semakin meluas dari masyarakat sipil, aktivis lingkungan dan akademisi.
Tidak hanya itu, organisasi keagamaan kristen protestan terbesar di Indonesia, yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), yang memiliki jemaat kurang lebih 6,5 juta jiwa itu juga ikut menyuarakan kegelisahannya terkait aktivitas TPL.
Sikap penolakan terhadap TPL disampaikan langsung dan terbuka oleh pemimpin tertinggi HKPB, Ephorus Pdt. Dr. Victor Tinambunan, M.S.T dalam pelbagai kesempatan.
Ephorus secara tegas menyatakan kegelisahaannya atas operasi TPL yang telah telah memicu kerusakan lingkungan, konflik agraria, dan kriminalisasi masyarakat adat di kawasan Danau Toba yang berlangsung selama lebih dari empat dasawarsa sejak 1988.
Eskalasi penolakan semakin meluas karena tidak hanya dari elemen Kristen Protestan, tapi juga elemen Katolik melalui Lembaga Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Kapusin Medan juga mengungkapkan kegelisahan mereka terhadap TPL.
Secara gamblang, baik HKBP maupun KPKC menyoroti dampak ekspolitasi sporadis yang dilakukan TPL dianggap telah mengakibatkan penderitaan yang dialami oleh masyarakat di kawasan Danau Toba.
Baca juga: Perampasan Tanah Adat Sihaporas dan Kolonialisme Gaya Baru
Tidak hanya itu, kedua organisasi keagamaan ini juga telah melakukan pendampingan hukum terhadap masyarakat yang menjadi korban kekerasan dan korban kriminalisasi oleh perusahaan.
Pada Kamis, 25 September 2025, dalam kapasitas sebagai Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI yang menangani isu-isu krusial terkait Hak Asasi Manusia, saya bertemu dengan Ephorus HKPB di kawasan Jakarta Selatan.
Pertemuan tersebut kami inisiasi dalam rangka mendalami gelombang protes terhadap TPL yang semakin meluas. Eskalasi protes hampir belum pernah terjadi sebelumnya karena sudah datang dari tokoh-tokoh agama.
Area daerah pemilihan saya di Sumatera Utara III, salah satu wilayahnya adalah Kabupaten Simalungun. Pada 22 September 2025 lalu, terjadi peristiwa bentrokan antara masyarakat adat dan TPL di di Desa Sihaporas, Kabupaten Simalungun yang mengakibatkan puluhan korban luka-luka.
Pada pertemuan tersebut, saya sempat menghubungi Komisioner Komnas HAM sebagai mitra kerja Komisi XIII DPR RI untuk menanyakan soal data bentrokan antara masyarakat adat dan TPL dalam lima tahun terakhir, yang jumlahnya puluhan.
Selanjutnya, menurut data dari Komnas HAM di tahun 2025, sudah dua kali terjadi bentrokan besar antara perusahaan melalui aparat dan masyarakat adat.
Pertama terjadi di Desa Nagasaribu, Kabupaten Tapanuli Utara, akhir Januari hingga pertengahan Februari 2025, karena adanya intimidasi dan kekerasan yang dilakukan Tim Operasional TPL terhadap masyarakat adat.
Kedua terjadi di Desa Sihaporas, Kabupaten Simalungun, pada akhir September 2025, yang juga mengakibatkan insiden kekerasan antara pihak karyawan TPL dan aparat terhadap masyarakat adat.