
PADA 22 September 2025, peristiwa memilukan terjadi di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Menurut laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, sekitar 33 orang masyarakat adat menjadi korban luka, 18 orang di antaranya perempuan.
Versi masyarakat adat menyebutkan bahwa sejumlah gubuk pertanian, posko perjuangan, rumah, hingga kendaraan mereka dirusak, bahkan ada yang dibakar.
Pihak TPL melalui juru bicaranya menyangkal tuduhan tersebut, dengan menyatakan bahwa yang terjadi justru aksi anarkistis masyarakat yang mengganggu operasional perusahaan.
TPL menyebut melaksanakan kegiatan penanaman, perawatan, dan pemanenan di areal konsesi sesuai dengan Rencana Kerja Umum (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT).
Versi TPL, saat pekerja sedang dalam perjalanan menuju lokasi pemanenan dan penanaman eukaliptus, sekelompok orang kemudian mengadang dan melakukan pelemparan batu serta memblokir jalan dengan kayu gelondongan.
Kepolisian baru masuk ke lokasi ketika konflik sudah mereda, memperlihatkan betapa aparat seolah memilih hadir terlambat pada saat masyarakat membutuhkan perlindungan.
Peristiwa tersebut bukanlah insiden tunggal. Catatan organisasi masyarakat sipil menunjukkan bahwa sejak Maret 2024 hingga September 2025, sudah tujuh kali konflik antara masyarakat adat dan TPL pecah.
Polanya selalu serupa, ada klaim tanah adat yang dianggap sebagai konsesi perusahaan, lalu terjadi penolakan masyarakat, kemudian terjadi bentrokan hingga menimbulkan korban luka-luka di lapangan.
Yang berulang bukan hanya sengketa batas, tetapi juga penderitaan masyarakat adat yang berhadapan dengan kekuatan modal dan instrumen represif negara.
Situasi ini memperlihatkan betapa relasi kuasa bekerja dengan timpang, ketika suara masyarakat adat nyaris tidak mendapat ruang dalam wacana pembangunan yang didikte oleh kepentingan korporasi.
Korban luka dan kerugian material yang diderita masyarakat adat memperlihatkan wajah buram pembangunan yang dijanjikan penguasa dan pemilik modal selama ini.
Janji lapangan kerja, peningkatan ekonomi lokal, pelestarian lingkungan atau tanggung jawab sosial perusahaan, dalam kenyataannya jauh dari harapan.
Sebaliknya, warga harus kehilangan tanah garapan, sumber air, serta ruang hidup yang selama ratusan tahun menjadi basis ekonomi subsisten mereka.