Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Perampasan Tanah Adat Sihaporas dan Kolonialisme Gaya Baru

Kompas.com - 28/09/2025, 08:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA 22 September 2025, peristiwa memilukan terjadi di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Bentrokan pecah antara masyarakat adat Sihaporas dengan pihak yang disebut-sebut terkait dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Menurut laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, sekitar 33 orang masyarakat adat menjadi korban luka, 18 orang di antaranya perempuan.

Versi masyarakat adat menyebutkan bahwa sejumlah gubuk pertanian, posko perjuangan, rumah, hingga kendaraan mereka dirusak, bahkan ada yang dibakar.

Pihak TPL melalui juru bicaranya menyangkal tuduhan tersebut, dengan menyatakan bahwa yang terjadi justru aksi anarkistis masyarakat yang mengganggu operasional perusahaan.

TPL menyebut melaksanakan kegiatan penanaman, perawatan, dan pemanenan di areal konsesi sesuai dengan Rencana Kerja Umum (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT).

Versi TPL, saat pekerja sedang dalam perjalanan menuju lokasi pemanenan dan penanaman eukaliptus, sekelompok orang kemudian mengadang dan melakukan pelemparan batu serta memblokir jalan dengan kayu gelondongan.

Kepolisian baru masuk ke lokasi ketika konflik sudah mereda, memperlihatkan betapa aparat seolah memilih hadir terlambat pada saat masyarakat membutuhkan perlindungan.

Peristiwa tersebut bukanlah insiden tunggal. Catatan organisasi masyarakat sipil menunjukkan bahwa sejak Maret 2024 hingga September 2025, sudah tujuh kali konflik antara masyarakat adat dan TPL pecah.

Polanya selalu serupa, ada klaim tanah adat yang dianggap sebagai konsesi perusahaan, lalu terjadi penolakan masyarakat, kemudian terjadi bentrokan hingga menimbulkan korban luka-luka di lapangan.

Yang berulang bukan hanya sengketa batas, tetapi juga penderitaan masyarakat adat yang berhadapan dengan kekuatan modal dan instrumen represif negara.

Situasi ini memperlihatkan betapa relasi kuasa bekerja dengan timpang, ketika suara masyarakat adat nyaris tidak mendapat ruang dalam wacana pembangunan yang didikte oleh kepentingan korporasi.

Korban luka dan kerugian material yang diderita masyarakat adat memperlihatkan wajah buram pembangunan yang dijanjikan penguasa dan pemilik modal selama ini.

Janji lapangan kerja, peningkatan ekonomi lokal, pelestarian lingkungan atau tanggung jawab sosial perusahaan, dalam kenyataannya jauh dari harapan.

Sebaliknya, warga harus kehilangan tanah garapan, sumber air, serta ruang hidup yang selama ratusan tahun menjadi basis ekonomi subsisten mereka.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau