JAKARTA, KOMPAS.com - Program Zero Overdimension Overloading (Zero ODOL) adalah inisiatif pemerintah yang ditargetkan untuk diterapkan sepenuhnya pada tahun 2027.
Baca juga: Update Tarif Resmi Bikin dan Perpanjangan SIM B1 dan B2 Agustus 2025
Program ini bertujuan untuk mengurangi muatan berlebih pada kendaraan angkutan barang, yang telah menjadi masalah di banyak negara termasuk Indonesia.
Meskipun para pemangku kepentingan menyatakan dukungannya, pelaku usaha merasa bahwa implementasi program ini perlu dilakukan dengan cara yang lebih adaptif dan realistis.
Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Agus Pratiknyo, mengungkapkan bahwa pendekatan Zero ODOL yang masih merujuk pada JBI (Jumlah Berat yang Diizinkan) dapat menyebabkan dampak ekonomi yang signifikan.
Baca juga: Rocky Hybrid dan Booth Daihatsu Sukses Curi Perhatian di GIIAS 2025
Menurutnya, salah satu akibat utama dari penerapan program ini adalah meningkatnya biaya logistik.
Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa muatan yang sebelumnya dapat diangkut oleh satu kendaraan kini harus dibagi antara dua atau tiga kendaraan.
Agus memberikan contoh konkret dengan menjelaskan, “JBI kendaraan 3 sumbu adalah 24 ton, berat kosong kendaraan 12 ton, berarti muatan yang diizinkan ialah 12 ton.” Ia juga menambahkan, “Kendaraan 3 sumbu memuat 32 ton karena muatan semen itu kelipatan 8 ton.” Ini menunjukkan bahwa kendaraan yang sebelumnya bisa mengangkut 32 ton kini hanya diperbolehkan membawa 12 ton, yang berarti muatan harus dibagi ke lebih banyak kendaraan.
Baca juga: Pertalite Tercampur Solar di SPBU Kembangan, Ini Dampaknya untuk Kendaraan
Penerapan Zero ODOL berpotensi meningkatkan ongkos angkut dan, pada akhirnya, harga jual barang.
Agus menjelaskan bahwa jika satu truk yang biasanya mengangkut 32 ton semen harus dibagi menjadi tiga kendaraan, maka jelas bahwa biaya pengangkutan akan meningkat.
Dampak tidak hanya dirasakan oleh industri semen.
Agus juga menyoroti bahwa komoditas lain seperti beras mengalami situasi serupa. “Realita di lapangan saat ini kendaraan sumbu tiga memuat 25–30 ton. Sedangkan kalau kita mengikuti program Zero ODOL, berarti 3 sumbu harus 12 ton. Berarti akan berdampak pada ongkos angkut,” ujarnya.
Agus berpendapat bahwa pendekatan berbasis daya payload lebih transparan, adil, dan realistis dibandingkan dengan JBI, yang sering kali tidak mencerminkan kebutuhan industri di lapangan.
Dengan demikian, implementasi Zero ODOL yang lebih adaptif dan berbasis pada kenyataan di lapangan akan sangat diperlukan untuk mengurangi dampak negatif pada biaya logistik dan ekonomi secara keseluruhan.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini